Lalu sikap Anda kian berubah, masih menyebalkan tapi sanggup menghibur saya.
Anda jarang berpikir panjang. Berbicara suka-suka. Bertindak suka-suka.Tapi ada rasa aman. Ya. Rasa aman.
Ketika saya bersama Anda. Lalu, ke manakah ini semua arahnya? Biarkan segalanya mengalir bak air sungai.
Ingat! Hanya rasa aman. Tidak ada yang lain. Tunggu! Tidak,atau belum?
Jangan sampai.
Karena saya, saya tidak mau jatuh cinta kepada Anda. Dibalik rasa aman yang Anda berikan, sisanya rasa takut tersakiti. Karena sikap Anda, semua yang Anda lakukan, walaupun Anda atas nama kan cinta, saya rasa tidak akan pernah bertahan lama.
Semoga saja. Saya tidak jatuh cinta. Karena saya tidak mau.
Aku menyukai hujan. Sejak seorang temanku bilang, hujan itu menyenangkan. Menemani setia.
Aku menyukai hujan, terlebih jika hatiku sedang galau.
Rasanya, hujan itu turut menangis bersamaku.
Pernah satu waktu, aku mengadu kasih dengan seorang lelaki dibawah hujan. Dibalik payung kami berpelukan. Indah sekali. Tetapi itu sudah lama sekali.
Pernah satu waktu, aku menatap langit dengan seorang lelaki dibawah hujan. Berharap hujan itu abadi, seperti cinta kami, saat itu.
Pernah juga satu waktu, aku berdiam kehujanan. Dalam raga yang kebasahan, aku lalu menangis dalam hujan.
Tetapi, hujan juga setia ketika aku bahagia. Bersama teman-temanku kami berteduh dalam hujan, yang menyatukan kami dalam kebersamaan yang jarang.
Ada saat lain lagi, ketika anjing tetangga yang enggan pulang selalu diam didepan pagar rumahku, ayah tak pernah mengijinkannya masuk. Tetapi ketika hujan deras, ayah mengijinkan anjing itu masuk dan berteduh di dalam.
Hujan. Seperti sahabat. Setia menemaniku, lebih dari siapapun.
Kamu tahu? Semalam aku memimpikanmu.
Aku tidak akan bercerita panjang lebar tentang mimpiku kali ini. Mimpi ini jauh lebih panjang dari mimpi-mimpi lainnya.
Namun, dalam mimpiku itu. Kamu bilang Aku membenci Kamu.
Katanya sikapku memuakkanmu. Ya, jujur saja. Aku memang sudah muak denganmu. Bayangkan betapa perasaan ini bermetamorfosa begitu cepat.
Rasa sayang beberapa bulan lalu, dengan cepat berubah menjadi cinta ketika sudah melibatkan air mata. Lalu cinta itu menangis lebih dalam lagi, hingga terluka lalu kadarnya berkurang menjadi rasa sayang. Tetapi sikapmu kian hari kian kekanak-kanakan. Kian bodoh.
Siapa yang tahan melihat orang bodoh yang tidak MAU pintar. Camkan itu! Tidak MAU, bukan tidak BISA.
Kini sayang yang belum lama bertahta, berubah menjadi rasa muak. Malas.
Aku heran.
Mengapa dulu aku jatuh cinta padamu? Bodohkah aku?
Tetapi. Terima kasih. Sudah memberi warna dalam hidupku. Dari merah muda, jingga hingga hitam kelabu. Takkan pernah membentuk sekumpulan warna pelangi, karena Kamu selalu memberikanku hujan. Tiada pernah mereda.
Maka, biarkan hujan. Yang menghapus semua luka, supaya yang tersisa tinggal kenangan indah berdua. Karena aku, aku sungguh tidak mau membenci (lagi).
Baru pulang dari melayat tetangga jauh yang meninggal. Rumahnya dibelakang gang rumahku. Aku dan papa menembus jalanan komplek yang gelap dan dihiasi genangan air sana sini. Hujan besar baru mereda. Aku pergi ketika hujan sudah berubah rintik.
Sampai disana, aku dan papa yang tidak terlalu mengenal keluarga Ibu Agustine (hanya tahu sekedar nama dan obrolan para tetangga) tampak seperti orang bingung karena misa sudah dimulai. Aku pun baru tahu kalau ibu ini seorang katolik taat, dan istri dari seorang TNI. Ibu ini usianya 61 tahun, sama dengan papa. Meninggal tadi sore sebelum maghrib, katanya karena sakit yang sudah lama diderita. Sakit apa? Aku tidak tahu.
Aku dan papa yang memang jarang bersosialisasi dengan tetangga, apalagi tetangga jauh seperti itu jadi merasa asing. Takut-takut, para pelayat mengira kami berdua pelayat nyasar. Tapi yang membekas di benakku bukan soal keterasingan ini, tapi isi khotbah yang diberikan oleh sang pastur.
Tidak ada khotbah panjang lebar, hanya memohonkan ketabahan dan keikhlasan. Pastur ini juga lalu bercerita, bagaimana hebatnya Ibu Agustine semasa hidupnya. Jujur, setiap datang melayat aku akan mengingat suasana empat tahun lalu ketika mama meninggal. Ada perasaan sedih yang menyelinap dalam pikiran, dan juga pengertian akan kehilangan yang mendalam.
Lalu, pastur ini berkata bahwa kita sebagai manusia akan dipanggil Tuhan kapan saja. Jika orang mudik akan rela berdesak-desakan. Rela menghabiskan uang tabungan setahun untuk menghadap keluarga di kampung halaman, lalu apa bekal kita untuk menghadap Tuhan? Sudah adakah tabungan kita?
Bagi yang umat katolik, katanya jangan mengaku dosa ketika rambut sudah putih. Tuhan akan memanggil siapapun, kapanpun, sesuai kehendakNya. Bagi agama lain? Aku percaya sudah ada aturan mainnya sendiri. Lalu bagi yang agnostik atau atheis bagaimana? Itu urusan mereka.
Berhubung aku ini suka mengkhayal ini itu, ketika mendengar pernyataan pastur mengenai kematian ada rasa sedih jika membayangkan orang-orang dicinta pergi meninggalkanku untuk selamanya. Juga sedih membayangkan jika aku yang lebih dulu mati meninggalkan mereka.
Lalu, jika aku mati. Akankah yang melayat akan sebanyak ini? Akankah ada yang peduli? Meluangkan waktu hanya sekedar melihatku terakhir kali? Entahlah.
Siapapun tak akan ada yang tahu kapan dan dimana akan mati. Seorang temanku seringkali berkata, “Tidur pulas diranjang aja bisa mati.”
So, aku rasa memang takkan ada habisnya bicara beginian. Tapi satu pesanku, bertingkahlah lebih baik dalam hidupmu, supaya ketika mati nanti, setidaknya ada orang yang menangis untukmu walau hanya satu.
Cerita dibuka dengan pameran patung Maternal Moods,patung-patung ibu mengandung dalam berbagai pose. Gambir (Fachri Albar) menuai pujian dari rekan-rekan dan kurator. Talyda (Marsha Timothy),tampil sebagai sosok istri luar biasa. Mengutip kata-kata "Selalu ada wanita hebat dibalik kesuksesan pria."
Sosok Talyda tampil sempurna mewujudkan kalimat itu menjadi nyata. Namun penonton dikejutkan dengan hadirnya cuplikan seorang anak kecil yang terlempar diatas meja makan. Kehidupan Gambir dan Talyda digambarkan begitu misterius dengan latar pencahayaan pas-pasan,redup disana remang disini.
Alur cerita tidak teratur,loncat sana sini. Gambir yang di rumah,Gambir yang di studio,di jalan. Kecenderungan Joko Anwar yang tidak menjelaskan setting cerita di setiap film nya,dengan harapan penonton akan menganggap setting berada di negeri berantah cukup berhasil ditampilkan di film ini.
Dalam novelnya sendiri,sang penulis Sekar Ayu Asmara memadu tiga sudut pandang yang berujung pada satu cerita. Yang pertama adalah cerita seorang anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan orang tuanya. Cerita kedua adalah cerita sentral dalam film , kehidupan Gambir dan Talyda. Cerita yang ketiga, adalah Ranti seorang reporter yang meliput seorang laki-laki yang sakit jiwa karena trauma masa kecil.
Keberadaan Herosase,tempat hiburan orang-orang yang isinya tontonan video-video candid tentang kegilaan manusia mampu menampilkan benang merah cerita yang semula tampak sulit diwujudkan dalam film.
Namun film yang menyajikan banyak adegan-adegan sadis berdarah ini menghilangkan esensi dari yang ingin di sampaikan novel buatan Sekar Ayu Asmara,bahwa seorang anak adalah kuncup yang harus disirami dengan kasih sayang supaya tumbuh dengan baik. Esensi penting itu hilang dengan alur yang berantakan dan darah yang bersimbah di film ini.
Keberadaan Herosase merupakan ide yang kreatif,namun adegan terakhir dengan Gambir di gereja yang berperan sebagai romo tanpa penjelasan seperti yang tertulis didalam novel,akan membuat penonton semakin bertanya-tanya. Saran saya,resapi dulu novelnya,lalu hayati film nya. Mungkin dengan begitu,Anda akan menemukan Pintu Terlarang dalam diri Anda sendiri.
Berhubung aku ini orangnya jika tidur akan selalu bermimpi, maka ijinkan aku menceritakan mimpiku tadi malam. Eh salah, bukan tadi malam. Aku terbangun jam 3 pagi, membangunkannya lalu tertidur lagi. Mimpi ini mulai dari jam 3 itu, hingga aku bangun lagi jam 10.00. Oke, jadi begini ceritanya.
Di ruangan SMA aku berkumpul dengan teman-temanku. Aku duduk di barisan paling depan. Kedua dari ujung kiri. Bentuk tempat duduknya seperti bangku-bangku di tempat kursus, yang menjadi satu dengan meja. Dalam ruangan itu, aku terlihat akrab dengan geng –ku ketika aku SD dan SMP.
Disamping kananku ada Jessica Wahyuni. Teman dekatku sewaktu SD, jarak kami semakin menjauh ketika aku mulai berpacaran sewaktu SMP. Dibelakangku ada Adinda, dan disamping Dinda ada Cinthya yang duduk persis dibelakang Jessica.
Sedikit bercerita, hubunganku dengan Dinda pun sekarang hanya sebatas kenal saja. Pertemanan kami merenggang, setelah Dinda ‘secara tidak langsung’ merebut pacarnya Cinthya semasa SMP dulu. Sedangkan aku dan Cinthya? Kami masih bersahabat hingga sekarang, dia teman sekamarku ditempat kos-kosan.
Kami berempat tampak tertawa, bercanda, dan mengejek satu sama lain. Seperti teman lama yang sudah lama tak berjumpa. Wajah Jessica, dewasa seperti keadaannya sekarang sebagai mahasiswi kedokteran gigi di Trisakti. Cinthya, rambutnya hitam. Sama ketika ia SMA. Kami berempat mengenakan seragam SMA. Namun, lucunya Adinda dengan seragam SMA tetapi dengan dandanan yang sama ketikia dia SD. Potongan rambutnya, tasnya. Ia mengenakan tasnya ketika SD. Yang aku ingat tasnya itu warna dasarnya hitam, dan ada campuran warna hijau tosca entah sebelah mana. Namanya juga mimpi. J
Ketika sedang berbincang bersama, aku sungguh tidak menyadari siapa-siapa saja yang ada dibelakang kami. Siapalagi yang berada dikelas itu, aku tidak ingat. Tak lama guru olahragaku sewaktu SMA, Pak Endri datang. Mengenakan setelan training berwarna merah. Ia memberikan pengumuman kalau kelas sudah dibubarkan. Lalu Jessica berkata, “Kita jalan-jalan yuk? Ke mall. Kan udah lama gak jalan bareng.”
“Hahaha..boleh-boleh,” jawabku.
“Yaah..tapi cowok gue mau datang,” kata Cinthya.
Dinda hanya diam saja. Memperhatikan kami berbicara.
“Ya udah, ga jadi aja deh. Cin, si Frank bawa mobil kan? Anterin ampe lapangan atuh, dari situ kan gue naik angkotnya gampang. Iya ga?” tanyaku pada Jessica dan Dinda yang memang satu arah pulang denganku.
*tapi aku bingung, lapangan apa ya?hihihi. dasar mimpi*
Sebelum pulang, Pak Endri membagikan hasil tes. Entah tes apa. Semacam hasil praktikum Biologi. Pokoknya nilaiku berempat bagus-bagus. Lalu datang seorang siswa menuju ke arahku, rambutnya agak berantakan. Ia mengenakan celana abu-abu tetapi tidak memakai kemeja. Atasnya kaos hitam bergaris putih.
“Chez, gw nitip tas gue dong. Lo bawa pulang yah, besok lo bawa lagi?”
“Hah? Gila lo!”
Tetapi siswa itu lalu pergi meninggalkanku. Dan anehnya, aku nurut-nurut saja membawakan tasnya. Tasnya berbentuk tas punggung, hanya ada satu retsleting besar dan sebuah kantong kecil didepannya. Warnanya didominasi oleh abu-abu, tetapi ada garis hitamnya. Aku membuka tasnya, memasukan tasku yang ternyata cukup didalam tas itu dan mengeluarkan uang sebanyak tujuh ribu rupiah untuk ongkos pulang. Tiga ribu untuk angkot, empat ribunya lagi untuk ojek.
Lalu, akhirnya kami berempat menaiki sebuah mobil SUV hijau tua milik Frank, entah apa mereknya. Seperti kataku, Frank kekasih Cinthya (dalam mimpi dan dalam kehidupan nyata J) membawa mobil menuju lapangan. Tetapi ia memutar jauh sekali. Hingga akhirnya sampai ia ke sebuah tempat dan aku, Jessica, Dinda dimintanya untuk turun dari mobil.
Akulah orang yang paling terkejut.
“Hah? Gila ini lapangan apa?! Ini mah tambah ngejauhin dari rumah gw. Rese’ lo ah!!”
Ternyata ditempat itu Cinthya mau pergi makan dengan Frank. Dinda dan Jessica lebih memilih ikut mereka berdua, sedangkan aku lebih memilih pulang.
Jika biasanya aku dari sekolah ke rumah menempuh satu jam perjalanan menggunakan angkutan umum nomor 08, kali ini aku terdampar entah di mana. Dalam mimpiku, daerah ini mirip daerah Pajajaran-Bogor. Aku seperti orang bingung, aku bertanya pada seoran abang-abang berwajah agak seram, kulitnya hitam terbakar matahari. Ia mengenakan singlet putih dan celana panjang khaki.
“Bang, nemu angkot 08 dimana ya? Atau ke Jambu?”
Jambu maksudnya Jambu Dua, tempat angkot 08 biasa mangkal.
“Nih neng, naik ini!”
Yang aku lihat, angkutan itu nomornya 230. Gile, sejak kapan ada angkot panjang gini angkanya ampe tiga digit? Ah, gue kan udah lama gak ke Bogor mana tau ini angkot baru.
Aku merelakan dua ribu ongkos yang kusiapkan tadi untuk ongkos angkot tambahan ini. Lalu supir angkot yang judes itu memintaku turun di depan sebuah gang sempit. Katanya, gang itu merupakan jalan tembusan menuju daerah Jambu Dua.
Ketika aku sampai diujung gang, tahu apa yang kutemukan? Sebuah sungai yang tidak terlalu besar, tetapi arusnya deras dan tidak ada jembatan. Buntu. Tetapi memang diseberang sungai itu sudah daerah Jambu Dua. Awalnya aku sendirian, cuaca pun sudah agak mendung. Lalu seorang bapak mengenakan baju safari abu-abu tua datang, dan hap! Dengan mudahnya ia menyebrangi sungai itu hanya dengan sekali loncatan.
Nih si bapak kakinya lebih pendek dari gue, kayaknya kalau gue loncat juga bisa. Begitu pikirku. Tetapi aku takut. Takut terjatuh lalu hanyut. Aku kan tidak bisa berenang.
Lalu datang lagi seorang ibu, berkemeja putih dengan celana panjang hitam. Rambutnya bergelombang sebahu dicat cokelat keemasan. Ia juga hanya berdiri mematung. Tidak berani menyeberang. Hingga akhirnya orang berdatangan semakin banyak, tapi wanita semua.
Beberapa ibu muda pergi ke samping kiri sungai yang aliran airnya lebih dangkal, dan berjalan ramai-ramai. Aku tetap tidak berani mencoba. Lalu, bala bantuan datang. Beberapa laki-laki muda, membentangkan sepasang tali dari seberang sungai dan meminta kami untuk berjalan di atas tali itu sambil berpegangan pada tali yang satu lagi.
Semua orang sudah berada diseberang, hujan mulai turun agak gerimis. Tetapi aku, bukannya ikut menyeberang malah menangis sendirian. Orang-orang itu meneriakiku,
“Ayo neng!!! Cepetan! Nggeus ujan!!”
Dengan memaksakan diri, sambil menangis dan kedinginan karena hujan aku pun menyeberang sendirian. Namun sesampainya di seberang, aku tidak menemukan angkot 08 yang biasa kunaiki. Lalu aku bertanya lagi pada orang.
“Bang, angkot ke Cibinong yang mana ya? Kok 08 na euwueh ‘nya?” (Kok 08 nya tidak ada ya?)
Lalu, aku disuruh naik angkot 245. Nah lho? Tiga digit lagi. Aku naik bersama ibu-ibu yang menyeberang tadi. Tampaknya tujuan mereka sama denganku. Namun setelah semakin jauh, jauh, dan jauh rasanya kok tempat ini tidak asing? Rasa-rasanya kok aku sudah pernah lewat, kayaknya bukan ke Cibinong.
Benar saja!! Angkot ini membawaku kembali ke tempat di mana Frank dan yang lainnya menurunkan aku! Ibu-ibu tadi geram, lalu memaksa sopir angkot kembali ke tempat tadi dan memukuli si abang yang kutanyai karena telah berbohong. Aku lupa kejadian setelah itu. Yang kuingat abang itu lalu jatuh ke dalam sungai dan aku mengingat ibu-ibu itu lalu pergi. Aku? Aku diam saja di samping sungai. Dan aku pun terbangun.
Huh! Dasar mimpi.
Akhir-akhir ini gw lebih banyak error nya daripada benernya. Whaiii? Coba tell me why? Gw aja gak tau gimana kalian? Hufh…pas hari kapan gitu, gw marah-marah muluuuu. Kalo di kartun-kartun, maybe kepala gw hari itu sepanjang scene warnanya merah menyala-nyala. Siap membakar—menghanguskan siapapun yang ada dekat gw. Sialnya, seharian itu yang deket ma gw ya my lovely daddy. Jadilah daddy tercinta ini kena omelan gw. Sumpeh, dosa banget gw!
Dengan rutinitas aneh sepanjang liburan, maybe ini bikin kerja otak gw jadi aneh juga.
Tiap mau bikin tugas individu soskom, virus malas langsung menyergap. Apalagi semua buku ditinggal di kosan. TOLOL! Tugas yang lain bagaimana? Tugas yang lain kebanyakan kelompok..jadilah gw autis, berteman dengan internet saja. Mencari bahan ini, bahan itu.
Liburan ini gw…go shopping with daddy..
Sisanya? Di rumah. That’s all. Mau ketemuan sama teman-teman lama udah pada masuk kuliah semua. L
Lagian mau pergi-pergi juga malas sekalii entah kenapa. Coba tell me why?
Hubungan dengan Dia agak membaik. Cuma ada tambahan rutinitas yang ga enak. Tiap hari, bangunin Dia jam 3 pagi. Hanya untuk kepentingan yang gw dan Dia aja yang tahu.
Tapi akhir-akhir ini Dia lagi jutek. Entahlah. Gw juga malas menanggapi. I became more emotional these days. Is it close to my period? Ummmm,,maybe yes..maybe no. Don’t know.
Oh iya! Liburan ini juga gw lagi addicted banget sama belly dance. It feels so sexy when u moved your hip. Belly dance keliatannya gampang, bo. Tapi susahh..ampuun dah. Kenapa gw suka belly dance? Hmm, selain keliatannya gampang ternyata susah *and it challenged me*, belly dance itu tarian yang harus dilakukan bare foot. Dan dari dulu gw emang suka banget nari bertelanjang kaki. Kalo hip hop or modern dance kan umumnya pake sepatu sport gitu, beda laah feel nya.
Apa lagi yaa? Hmmmph. Oh iya, sebenarnya agak sedih juga sih. Melihat Kamu yang lagi bimbang. Terombang ambing oleh pikiran tentangnya. Aku sayang Kamu, now as a bestfriend. Dan aku mauyang terbaik buat Kamu. Silakan cari perempuan lain. Kita berdua sama-sama tahu, she’s not good for you cause deep down her heart she doesn’t even care about you.
Aku akan rela jika Kamu mencintai perempuan lain. Tapi jangan Ia. And I’m sure, Kamu akan menemukan yang lain. Yang lebih baik dari Ia.
Hmmm,,berantakan gini yah? Gak apa-apalah. Yang pasti semua uneg-uneg, semua yang ga enak, semua yang dipendam di hati nih..udah selesai. Beres. Done.
Forever yours,
Chrestella.