<meta name='google-adsense-platform-account' content='ca-host-pub-1556223355139109'/> <meta name='google-adsense-platform-domain' content='blogspot.com'/> <!-- --><style type="text/css">@import url(https://www.blogger.com/static/v1/v-css/navbar/3334278262-classic.css); div.b-mobile {display:none;} </style> </head><body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5591682808013880391\x26blogName\x3d::butterfly.flies.in.the.sky::\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://kupukupulangit.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_GB\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://kupukupulangit.blogspot.com/\x26vt\x3d1374428785504328993', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>



archives

♥December 2008
♥July 2009
♥August 2009
♥September 2009
♥October 2009



♥20081215

Pengalaman Pertama

Pengalaman Pertama, Tak Seindah Pandangan Pertama

Sinar mentari mengikis jelaga malam hingga tandas tak bersisa. Aku dengan malas bangun dari ranjang. Masih pukul setengah sembilan pagi. Bagiku, ini masih terlalu pagi. Apalagi di hari libur seperti hari Sabtu begini, jangankan aku, matahari pun mungkin terpaksa bangun dari tidurnya. Namun, apa boleh buat, hari libur untukku tidak berlaku untuk aktivitasku.

Siang itu, matahari cantik menggantung di telinga langit, panasnya menyengat serasa menusuk kulit seolah ingin menghanguskan seluruh makhluk insani. Aku, ditemani terik mentari pergi seorang diri menuju Kota Bogor yang 20 kilometer jauhnya dari rumahku di Cibinong. Aku ke sana untuk menemui rekanku, Mas Rama, yang hari itu akan memberiku penjelasan tentang riset yang akan aku lakukan ke Kebun Raya Bogor untuk pembuatan skenario sebuah film dokumenter yang disutradarainya.

Setelah mendapatkan penjelasan dan bekal Rp100.000,- dari Mas Rama, aku langsung pergi ke Kebun Raya Bogor. Kebun Raya Bogor bukan tempat yang asing bagiku, seringkali aku bersama teman-temanku dulu mendatangi tempat ini sekedar melepas jenuh dan penat di sela-sela hari sekolah. Ibarat mengingat wajah kekasih hati, aku hafal setiap sudut di taman raksasa itu termasuk apa yang pernah kulihat di dalam Museum Zoologi yang terletak di area Kebun Raya.

Setibanya aku di sana, aku melihat di samping pintu masuk terdapat gedung pemasaran, aku berpikir mungkin lebih baik jika aku mendatangi gedung pemasarannya terlebih dahulu. Mencoba lebih baik dibanding tidak sama sekali,bukan? Di kantor pemasaran aku melihat banyak orang yang sedang menunggu. Ternyata di hari Sabtu seperti ini masih banyak orang datang ke kantor ini. Ada dua orang mahasiswi dan beberapa orang pegawai negeri sipil, entah apa yang mereka tunggu. Ada juga sepasang muda mudi yang hendak menjadikan Kebun Raya sebagai lokasi untuk pemotretan pre-wedding mereka.

Setelah mengungkapkan maksud kedatanganku, orang pemasaran itu memberikanku sejumlah informasi mengenai fasilitas-fasilitas yang terdapat di Kebun Raya seperti; penyewaan tempat pesta outdoor, syuting film atau video klip, harga untuk mengadakan foto pre-wedding,dll. Setelah itu, dia menyarankan aku untuk naik ke lantai 2 dan mencari bahan yang aku perlukan di perpustakaan.

Pada mulanya, pandanganku tentang melakukan sebuah riset adalah sesuatu yang mudah dan tidak rumit. Apalagi, tempat yang menjadi objek risetku memiliki perpustakaannya sendiri. Tetapi nyatanya aku salah, yang ada di perpustakaan adalah buku-buku botani mengenai tanaman dalam dan luar negeri. Hanya satu atau dua buku yang membahas mengenai Kebun Raya. Di sana juga ada satu buku besar dan tebal yang memuat banyak informasi yang aku butuhkan. Sayangnya, karena aku bukan karyawan di tempat itu, aku hanya diperbolehkan untuk memfotokopi.

Aku senang karena setidaknya aku diizinkan untuk memfotokopi materi tersebut, namun ternyata kesenanganku tidak berlangsung lama, mesin fotokopi di tempat itu rusak dan aku tidak diizinkan membawa buku tersebut keluar ruangan. Perasaan yang semula senang langsung berganti kesal. Manis langsung berganti pahit. Sia-sia rasanya aku menghabiskan waktu begitu lama di perpustakaan itu untuk mencari informasi tetapi aku tidak mampu membawa pulang apa-apa.

Aku memutuskan untuk langsung masuk ke Kebun Raya dan meninggalkan perpustakaan dengan air muka merah karena kesal. Seorang penjaga di perpustakaan itu memanggilku.

“Mbak, mau cari buku tentang Kebun Raya ya?”

Aku hanya mengangguk dengan senyum tersungging malas. Aku ini dianggapnya hantu atau apa, lebih dari satu jam aku di ruangan itu dan ia baru bertanya padaku ketika aku beranjak pergi. Tak lama perempuan bertubuh mungil itu mengeluarkan beberapa buku bersampulkan objek-objek di Kebun Raya.

Lalu katanya padaku, “Coba aja ‘mbak pakai buku ini.”

Aku mengambil salah satu buku yang ditunjukkannya dan membaca sekilas apa yang ada di dalamnya. Ternyata, semua informasi yang aku butuhkan terdapat dalam buku itu.

“Tapi di sini kan gak bisa difotokopi. Bukunya juga ‘kan gak boleh dibawa keluar. Percuma dong,Mbak. Masa saya mau nyatat isinya? Bisa seharian.” Jawabku kesal. Kecamuk hati kian meraja. Andai dia tahu betapa kecewanya aku menghabiskan hampir 2 jam waktuku di ruangan itu tanpa mendapatkan sesuatu apapun.

“Ini dijual kok,Mbak.”

Kecamuk hati sedikit mereda, terbasuh ucapan terakhir penjaga perpustakaan itu. Batin pun berbicara. Nah!! Bilang dari tadi kek! Ngapain aku lama-lama di sini. Toh tadi juga Mas Rama udah kasih aku uang.

“Oh...masa? Kalau gitu saya beli aja deh.”

Buru-buru kukeluarkan dompetku, ingin rasanya segera mencapai garis akhir risetku hari itu.

“Bukan di sini,Mbak. Di dekat pintu masuk. Mbak tanya satpam aja.”

“Oh gitu, makasih ya. Permisi.”

Aku langsung pergi cepat-cepat meninggalkan ruangan itu. Tidak sabar untuk segera membeli buku yang kubaca tadi dan menuangkannya dalam bentuk skenario.

Begitu aku tiba di tempat penjualan buku, aku bertemu dengan perempuan yang menyarankanku untuk pergi ke perpustakaan di gedung pemasaran tadi. Ia bertanya apakah aku menemukan yang aku butuhkan di perpustakaan atau tidak. Aku menjawab sekenanya, “Dapat kok. Tapi kayaknya mendingan beli bukunya langsung aja.”

Aku memilih buku kecil dan tipis bergambarkan bunga bangkai di sampul depan yang di dalamnya mengandung informasi mengenai sejarah dan objek-objek wisata di dalam Kebun Raya. Betapa terkejutnya aku ketika diminta untuk membayar oleh sang penjual, buku kecil dan tipis itu berharga Rp50.000,-. Huh!! Mau ngerampok?! Kecil-kecil mahal banget sih! Mentang-mentang banyak turis asing, pasang harga gak kira-kira,umpatku dalam hati.

Berhubung Mas Rama memberiku uang Rp100.000,-, aku berpikir setidaknya aku masih memiliki uang Rp50.000,- untuk honor tulisanku. Aku lalu menghubungi Mas Rama sore itu, melaporkan hasil risetku selama hari itu dan menanyakan apakah aku masih perlu menemuinya lagi sore itu. Setelah Mas Rama mengatakan oke dan memintaku untuk pulang saja, aku pun memutuskan segera kembali ke rumah untuk menulis langsung skenario film dokumenter itu dengan buku dan beberapa informasi yang telah kupunya.

Hari itu, walau hanya riset kecil, tetapi sebagai pengalaman pertama telah memberiku banyak pelajaran, seperti mesin fotokopi yang rusak itu. Memberiku pelajaran untuk setidaknya bertanya dengan benar dan mendetil jika harus melakukan riset lagi. Supaya yang aku hasilkan tidak seperti membuang garam ke laut. Mendekam di ruangan penuh buku tanpa membawa pulang apapun hanya karena mesin fotokopian.

****


written at♥13:27


Rana dan Banyu-Unfinnished

Satu...

Matamu yang jernih,membuatku mampu menembus seluruh celah jiwamu..

September 2007

Bus Kota

06.37 WIB

Aku Kirana,aku seorang perempuan biasa yang bekerja sebagai wartawan sebuah majalah fashion di Jakarta. Pagi ini aku berangkat begitu pagi,jam setengah tujuh dari rumah. Padahal biasanya aku berangkat jam delapan. Bus yang aku tumpangi pun lumayan sepi. Ini semua karena kecerobohanku meninggalkan laptop di meja kantor. Padahal, didalamnya ada artikel yang bahkan belum setengah jadi dan harus diserahkan pada editor jam setengah sepuluh nanti. Hwoaamm..!Ngantuk sekali. Untuk mengusir rasa kantuk,aku pun mengalihkan pandangan ke jalan,menyaksikan manusia-manusia di luar sana yang dengan hiruk pikuknya menghadapi hari di Jakarta.

Dengan pandangan yang masih tertuju ke luar jendela,aku merasakan seseorang duduk mengisi kekosongan bangku di sebelahku. Dari harum tubuhnya yang begitu maskulin aku tahu bahwa yang di sebelahku adalah seorang pria,namun entah kenapa aku hafal wangi parfum ini. Aku merasa mengenal pria ini. Lalu ketika dia menyebut namaku dengan suaranya yang berat tapi lembut itu, aku semakin yakin kalau aku memang mengenalnya.

"Rana..."

Aku pun menoleh dan seketika itu aku mendapati seorang pria yang dulu amat ku kenal dan sudah lima tahun tak kujumpai.

"Banyu?"

"Kirana Mentari?"

"Iya.Kamu Banyu kan?"

Akhirnya lelaki itu menjabat tanganku. Ia tersenyum. Senyumnya masih seperti dulu.

"Rana,gak nyangka ketemu kamu disini.Udah lama banget kita gak ketemu.Kok kamu masih ingat sama aku?"

Aku gantian mengulas senyum.

"Aku mana bisa lupa sama kamu.Hehehe..gimana kabar kamu?"

"Baik-baik aja kok.Mau kerja?"

"Iya.Sekarang aku jadi wartawan di majalah U+ .Kamu sendiri?"

"Wah,aku gak mau kalah dong sama kamu,aku jadi editor di CityPost."

"Lho?CityPost kan satu gedung dengan U+?Kok kita malah ketemu di sini ya? Aneh juga kalau dipikir-pikir. Hehehe..."

Banyu tertawa. Ada rasa rindu yang menyelinap batinku kala mendengar tawa itu.

“Hahaha,iya juga ya?Jelas aja gak ketemu di kantor, aku kan baru sebulan di CityPost, dulu aku editor di InfoBisnis. Tapi, gak elite banget ya ketemunya di bus kota. Gak apa-apa deh. Kalau perlu nanti aku catat plat nomor bus nya,biar ingat kalau bus ini jadi tempat kita ketemu lagi setelah 5 tahun gak ketemu.”

“Kamu ada-ada aja!Emangnya aku artis sampe harus dicatat segala nomor bus nya?”

Bus yang mereka tumpangi sudah sampai di tempat pemberhentian.Mereka berduapun lalu turun.Dari tempat mereka turun mereka masih harus berjalan beberapa ratus meter ke kantor karena kompleks gedung Star Media Group terletak di dalam sebuah kawasan bisnis private yang tidak dilalui kendaraan umum kecuali ojek.

"Oh iya Rana,rumah kamu masih sama kayak dulu?"

"Masih,tapi sekarang aku tinggal dirumah tante,biar gak terlalu jauh ke kantor."

"Mmm...mobil aku kan udah seminggu di bengkel,tapi nanti siang udah bisa diambil. Kalau nanti sore aku antar kamu pulang gimana?"

Duh,kok 'ni orang pake nawarin anter pulang segala sih?Kayak gue pacarnya aja.Tapi jangan ge-er dulu,dari dulu kan dia emang baik sama semua orang.Hehehe..

"Ok,terserah.Nanti kalau aku memang langsung pulang dari kantor aku hubungi kamu."

"Ok."

"Nomor hp kamu...?"

Kirana dan Banyu mengucapkan kalimat itu hampir bersamaan.Lalu keduanya tersenyum dan saling memandang. Lama keduanya terdiam,Rana pun memulai pembicaraan.

"Nomor aku 081808280828."

"Bagus banget nomornya. Nomorku 0817000777."

"Alaah..kamu! Pake acara bilang nomor aku bagus,ga ngaca kalau nomor hp kamu jauh lebih bagus. Hehehe..ya udah,kita pisah di sini ya. Kantor kita kan beda gedung.Bye."

"Ok.Bye."

Kirana melamun sambil mengetuk-ngetukan pensil di mejanya. Ia bingung karena tak ada yang harus dikerjakannya. Artikel kemarin sore sudah selesai. Janji wawancara dengan dokter kecantikan untuk rubrik Health&Beauty masih 1 jam lagi. Lalu pikirannya tertuju pada sebuah pertemuan di bus pagi tadi. Pertemuan singkat namun berujung nostalgia dengan seseorang yang dulu amat dikenalnya.

Banyu,lengkapnya Banyu Langit. Entah kenapa ia diberi nama begitu,jika dilihat maknanya,namanya bukanlah satu kesatuan. Banyu berarti air,sedangkan langit? Ya tetap saja langit. Walaupun begitu, namanya tetap saja indah didengar.

Banyu Langit,seorang mantan kekasihku sewaktu aku SMU dulu. Kala itu aku masih 17 tahun,dan Banyu sudah 23. Aku dulu pernah cinta mati padanya. Namun setelah 7 bulan berpacaran, aku merasa jenuh. Banyu mungkin seorang calon suami idaman, tapi pada umurku kala itu dia bukanlah tipe pacar impian. Semuanya serba mulus. Tak ada pertengkaran, tak ada kesalahan. Semuanya begitu sempurna. Namun terkadang kesempurnaan menjemukan. Kesempurnaan itu menjelma seperti sayur tanpa garam. Begitu hambar, begitu datar. Namun bagaimanapun juga,semua itu hanyalah masa lalu.

Handphone-nya berdering. Calling : Banyu

"Halo,Banyu?Kenapa?"

"Gak ada apa-apa.Nanti mau makan siang bareng gak?Aku gak ada temen nih.Namanya juga baru sebulan kerja disini.Hehehe.."

"Umm,gimana ya?Aku sih sebenarnya pengen nemenin kamu makan,tapi kayaknya siang ini aku makan diluar deh.Karena ada janji wawancara sama dokter kecantikan pas jam makan siang. Maaf ya."

"Oh gitu. Ya gak apa-apa. Sukses wawancaranya ya! Daahh.."

"Dadaah..."

♠♠♠

Kofie Toffie

13.15 WIB

“Terima kasih atas waktunya,Mbak.”

“Sama-sama. Lain kali kalau ada yang bisa saya bantu jangan ragu untuk menghubungi saya. Saya pelanggan setia majalah U+, jadi saya dengan senang hati membantu kemajuan majalah ini.”

Dokter Alika tersenyum. Wawancara siang ini dengan Kirana menurutnya begitu menyenangkan. Ia janji makan wawancara kali ini tak akan ia lupakan, begitu juga dengan Kirana.

“Kalau begitu, saya permisi dulu, Mbak. Kapan-kapan kita ngobrol-ngobrol lagi. Selamat siang.”

“Ok.”

♠♠♠

Kantor Majalah U+

15.55 WIB

Rana duduk di hadapan atasannya, Mas Eko. Tidak biasanya Mas Eko mau berbicara langsung dengan wartawan majalahnya seperti ini, biasanya ia selalu menitipkan pesan kepada asistennya. Pasti ada urusan penting.

“Ada apa,Mas?”

“Rana, saya tahu kerja kamu cukup bagus. Kamu juga belum pernah mengecewakan U+. Maka, saya secara langsung meminta kamu untuk meliput suatu acara.”

“Mmm…acara apa,Mas?”

“Sebenarnya acaranya masih bulan Desember. Tapi saya sengaja memberitahu kamu dari sekarang supaya kamu bisa menyiapkan diri.”

Haduh…kok pake acara menyiapkan diri segala? Jangan-jangan gue disuruh ngeliput narapidana pesta tahun baru lagi?

“Ada dua acara penting yang harus kamu liput. Yang pertama pre-party Spin Out di Jakarta tanggal 27 Desember di X3. Yang satu lagi, Spin Out di Singapore tanggal 4 Januari. Yang tanggal 27 Desember jam 10 malam sampai jam 7 pagi. Nah, kalau untuk yang di Singapore, acaranya itu jam 8 malam sampai jam 8 pagi. Kamu berangkat tanggal 26 Desember jam 8 pagi menggunakan Singapore Airlines.Beberapa Dj Indonesia juga ada yang berkesempatan manggung di sana. Kamu bisa cari-cari informasi dulu. Berhubungan dengan peliputan Spin Out ini, mulai tanggal 15 sampai 26 Desember kamu saya bebastugaskan.”

“Ok. Saya akan berusaha semaksimal saya. Terima kasih atas kepercayaannya. Kalau sudah selesai saya permisi dulu,Mas.”

Mas Eko hanya diam dan mengganguk-anggukkan kepala. Rana pun keluar dari ruangan itu sambil tidak percaya. Gue ngeliput Spin Out?Pesta Dj paling gede se-Asia? Haduh…pasti seru banget deh. Gak nyangka aja gue kok bisa-bisanya gue yang kepilih. Duh senangnya!

♠♠

Lobby U+

17.05 WIB

Banyu sudah menunggu di depan lobby kantor ketika Rana hendak pulang kantor. Rana sendiri lupa kalau hari ini Banyu yang akan mengantarnya pulang. Ia tidak mampu menyembunyikan rasa terkejut di wajahnya ketika Banyu memanggil namanya.

“Rana....”

“Banyu? Oh...kamu jadi antar aku pulang?”

“Jadi dong. Kan aku udah janji sama kamu tadi pagi. Yuk!”

Mobil Banyu

17.25 WIB

“Na, mau makan dulu gak?”

Rana terdiam. Bimbang. Sebenarnya ia lapar. Tapi rasanya jika hari ini harus makan malam dengan Banyu ia tidak rela. Walaupun dulu ia yang memutuskan meninggalkan Banyu, tapi ia takut rasa sayang yang dulu pernah ada untuk Banyu kembali lagi. Rana tipe orang yang mudah tertarik dengan orang lain.

“Gimana ya? Emm..emangnya mau makan di mana?”

“Aku tau tempat makan enak, restoran seafood gitu. Kamu kan doyan banget seafood. Ada di daerah Slipi, namanya Fishy Yummy.”

“Lucu banget namanya, hehehe....mmm, boleh deh kita makan dulu. Habis makan aku langsung pulang ya, mau ngerjain artikel hasil wawancara tadi siang.”

“Ok,bos!!”

Sikapnya yang begitu lembut dan perhatian, senyumnya yang begitu menenangkan,pengertian yang tiada berbatas dan kesetiaan yang tak pernah tergoyahkan. Lama aku hidup sendiri, menikmati indahnya kesendirian bersama teman dan keluarga, tiba-tiba aku merindukan sesosok lelaki seperti itu. Seperti Banyu. Oh shit!! Jangan!! Jangan sampai aku jatuh cinta lagi padanya!! Gimana kalau aku sampai menyakiti hatinya lagi? Mana aku tega menyakiti lelaki sebaik dia?

Rana pun menyadrai satu hal. Dua tahun ini ternyata dia sendiri. Sejak kepergian kekasihnya Dewa yang meninggalkannya demi menikahi perempuan lain, ia tidak pernah lagi menjalin hubungan spesial dengan laki-laki. Kini ketika ada Banyu yang memberikan perhatian lebih, ia merasa spesial. Merasa bahwa kehadirannya di dunia tidak hanya untuk ayahnya seorang.

♠♠♠

Dua...

Hatimu putih,seputih awan pagi ini yang menemani awal hariku..

President Restaurant

19.12 WIB

Malam ini Rana dan Banyu ada janji makan malam. Ini sudah makan malam yang kesekian kalinya sejak pertemuan di bus kala itu. Rana sendiri bingung, kenapa dia justru merasa nyaman jika berada di samping Banyu,padahal dulu ketika mereka pacaran saja Rana tak jarang merasa risih jika sedang bersama dengan Banyu.

Kali ini makan malam mereka bertempat di President Restaurant. Sebuah restoran bintang lima yang terletak di sebuah hotel di kawasan Sudirman.

“Banyu,kamu kenapa sih selalu ngajak aku makan malam di restoran-restoran mewah gini? Kali-kali makan di tukang pecel juga gak apa-apa kok. Hehehe...”

Banyu tertawa renyah.

“Kamu jangan ngomongin tukang pecel dong di restoran mewah gini. Malu tau! Hehehe...lagian khusus untuk malam ini aku gak mungkin ngajak kamu makan malam di tukang pecel, malam ini kan malam spesial.”

“Spesial apa? Aku gak ulang tahun ah. Seingat aku juga kamu ulang tahun tanggal 5 Agustus kan? Sekarang baru tanggal 3 November.”

Banyu hanya tersenyum simpul. Dari sorot matanya Rana tahu Banyu menyembunyikan sesuatu entah apa. Duh! si banyu ngapain sih? Apaan coba spesial-spesial? Deg-degan nih gue.

Rana memasukkan potongan terakhir kakap saus cognac nya ke dalam mulut. Es krim vanilla pesanan Rana dan Banyu untuk dessert pun datang.

“Rana.....”

“Banyu....”

“Kamu kok malah balik panggil aku sih? ”

Rana tertawa. “Lagian kamu cuma panggil nama aja. Ya aku balik panggil nama kamu gitu. Hehehe...”

“Kamu inget kan tadi aku bilang malam ini adalah malam yang spesial?”

Haduh....apa-apaan sih nih si Banyu?Gue gak demen nih yang begini-begini.

“Iya, aku inget. Emang kenapa sih? Kamu jangan sok-sok misterius gitu deh. Bikin penasaran aja.”

“Aku tahu kamu suka segala sesuatu yang to the point. Makanya aku gak akan bikin kamu penasaran lagi.”

Banyu menggenggam jemari Rana. Rana merasakan dingin luar biasa.

“Na....sebenarnya dari dulu kita putus itu, aku belum pernah lagi menyayangi seseorang seperti waktu aku sayang sama kamu. Memang aku udah beberapa kali pacaran setelah itu, tapi belum ada yang bikin aku bisa sayang sama orang kayak kamu. Bener-bener sayang dari hati. Sejak pertemuan kita di bus itu aku udah memutuskan untuk ngedeketin kamu lagi. Aku gak tau gimana perasaan kamu ke aku sekarang, tapi malam ini aku mau tanya sama kamu, kalau kita coba lagi dari awal, membuka lembaran baru lagi, apa kamu mau?”

“Banyu,maaf. Rasanya aku gak bisa kasih jawaban sekarang. Aku gak mau memutuskan sesuatu tanpa berpikir panjang dan nantinya malah salah langkah. Ijinkan aku berpikir setidaknya satu malam ini saja. Aku gak mau kalau sampai suatu saat aku nyakitin kamu kayak dulu.”

“Kamu gak pernah nyakitin aku,Ran. Tapi ok, aku akan memberikan kamu waktu. Terima kasih karena kamu sudah mau mempertimbangkan permintaan aku.”

“Sama-sama.”

♠♠♠


Kamar Rana

22.17 WIB

Ry-ku....aduh, aku harus gimana? Aku bingung. Dia menyatakan ingin kembali. Aku bisa apa? Aku menemukan lagi kenyaman bersama dirinya. Tapi bagaimana jika aku kembali menyakiti dia seperti dulu? Aku bingung. Sungguh bingung. Udah ah, daripada aku takut-takut gini. Takut nyakitin lah takut apa lah. Mendingan gak usah aja ya,Ry? Yaudah, aku bobo dulu ya,Ry.

Rana menutup buku diary kesayangannya, lalu pergi tidur. Ia tidak pernah mau memikirkan sesuatu yang membuatnya bingung. Ia yakin, tanpa perlu dipikirkan panjang-panjang pun ia akan menemukan yang terbaik. Semua hanya masalah waktu.

Kost-kost an Rana

09.22 WIB

Hari ini hari Minggu. Rana sedang malas ke mana-mana. Misi untuk tidur seharian sudah ia rencanakan dari kemarin-kemarin.

Tok...tok..tok..

“Masuk aja, ga dikunci.”

Nia, seorang teman kost-annya. “Ran, ada yang cari kamu.”

“Siapa? Ini kan hari libur, tumben ada yang nyariin. Cewek apa cowok?”

“Cowok. Tinggi banget orangnya. Rambutnya keriting diiket gitu. Dia gak sebut namanya.”


written at♥13:26


Aku dan Dia. Selamanya Cinta

Aku bingung. Kenapa aku dan Dia diperkenankan untuk saling mengenal. Dia jawaban dari kebutuhan aku untuk memiliki seseorang yang bisa diajak berbagi segalanya. Untuk diajak berbicara berbagai hal. Politik, agama, kesehatan, masalah sehari-hariku di skeolah, keluarga, semuanya. Rasanya lega ketika beban di hati sudah mau tumpah, aku tahu aku memiliki Dia untuk menangis. Ketika aku tidak tahu arah, ketika aku merasa takut dan bimbang, ada Dia. Ketika Dia tidak ada lagi untukku, aku seperti berjalan pincang ke belakang, bimbang, dan hilang dalam duniaku sendiri.

Aku ingat kala itu masih Desember 2005. Belum sebulan setelah kepergian mama. Aku mengenal Dia lewat dunia maya. Kami saling bertukar nomor handphone. Namun hingga menjelang tutup tahun, aku dan Dia tidak saling menghubungi. Kami menggunakan provider yang berbeda. Mungkin itu satu alasan kenapa aku enggan menghubungi dia.
Suatu malam entah kapan, aku merasa tubuhku perlu istirahat namun mataku enggan terpejam. Waktu baru menunjukkan pukul 11 malam. Iseng, aku miss call semua nomor yang ada di phonebook ku. Termasuk Dia. Dan Dia membalasku dengan sebuah sms. Dan aku merespon smsnya. Dia bilang, Dia sedang lembur. Kala itu Dia masih berada di Solo. Akhirnya kami saling bernostalgia tentang bagaimana kami saling mengenal lewat dunia maya.

Sejak malam itu, aku dan Dia cukup sering berhubungan lewat sms. Hingga sekitar akhir bulan Januari 2006, aku tidak dapat lagi menghubunginya. Nomornya tidak pernah aktif. Dia menghilang. Pergi. Ya sudahlah, toh kami belum mengenal terlalu lama, mungkin Dia jenuh denganku. Biarkan saja.

Untuk beberapa lama, aku melupakannya. Tak pernah lagi mengingat Dia dan berpikir bahwa Dia akan menghilang selamanya dari hidupku. Sampai di akhir Maret 2006, seminggu sebelum bulan April. Dia menghubungiku lagi. Kala itu aku sedang melatih murid-muridku menari untuk sebuah perlombaan di awal bulan April. Dia mengirimkan sebuah sms yang isinya : Halo ketela pu’un,masih inget gw gak? Aku tersenyum membaca smsnya. Ketela pu’un adalah plesetan yang Dia buat untuk mengganti namaku.

Dia menjelaskan padaku bahwa menghilangnya Dia disebabkan kepergiannya ke Amerika untuk beberapa lama. Akhirnya, sms siang itu berlanjut hingga malam dan hari-hari berikutnya. Hubungan kami cukup menyenangkan. Dia orang yang humoris. Menghilangkan kepenatanku di sela-sela kesibukanku sekolah. Ketika kami saling menanyakan asal kami masing-masing, aku terkejut ketika tahu Dia berasal dari P. Satu daerah yang menurutku orangnya tidak begitu ramah dan jauh berbeda dengan karakter Dia yang kukenal.

Suatu malam, Dia bertanya lewat sms : gw boleh nelpon lo gak? Aku jawab boleh. Tetapi aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku ketika mendengar suaranya yang menurutku saat itu, sedikit menakutkan. Aku membayangkan bagaimana rupa orang yang berada dibalik suara itu. Akhirnya, dengan dalih hendak makan malam diiringi suara ketusku, aku memutuskan telepon malam itu.

Walaupun telepon malam itu sempat membuatku ilfil, tetapi hubungan kami masih terus berlanjut. Suatu siang, 13 Juli 2006, aku dan Dia memutuskan untuk berpacaran. Aneh kedengarannya. Kami belum pernah bertemu. Tapi rasa nyaman itu sungguh ada. Nyata.

Yang tersirat dibenakku saat itu adalah, ah cuma iseng-iseng doang. Jauh begitu mana mungkin ketemu, paling juga gak sampe sebulan udah putus.

Beberapa bulan setelah kami memutuskan untuk berpacaran, kami saling bertukar foto lewat pos. Setelah itu, Dia bilang Dia makin mencintaiku dan ingin menikahiku. Aku tertawa dalam hati. Ini konyol, pikirku. Menikahi orang yang belum pernah kita temui?

Aku tidak pernah menyadari bahwa sms-sms dan kata-kata gombal yang sering aku ucapkan pada Dia di telepon adalah rasa sayang. Jarak yang memisahkan kami, perbedaan yang ada antara aku dan Dia. Dengan segala alasan itu, rasanya tidak akan tercipta rasa sayang yang sesungguhnya.

Tapi aku rela menunggunya setiap hari mengabariku disela kesibukannya. Aku rela tidak tidur hingga jam satu pagi menunggu janji teleponnnya. Walaupun telepon itu hanya berdurasi beberapa menit saja. Kala bulan puasa, aku yang tidak menjalankan ibadah puasa, rela meneleponnya jam 3 pagi untuk membangunkannya sahur. Dan pada suatu sore di akhir tahun 2006, Dia mengirimkan sebuah sms yang berisi kalau Dia sedang sakit parah dan harus dioperasi. Tanpa ba bi bu lagi, air mataku tumpah sudah. Dan sayang itu memang nyata. Aku tidak mau mendengar Dia sakit, aku tidak mau mendengar Dia bersedih, dan aku tidak mau kehilangan Dia.

Jumat, 12 Januari 2007 Dia datang ke Bogor. Sungguh sesuatu yang unbelievable. Dia rela menempuh jarak sejauh itu hanya untuk menemuiku seorang. Seberharga itukah aku untuk Dia?

Betapa gugup dan takutnya aku ketika aku sampai di depan kamar tempat Dia menginap. Jangankan mengetuk pintu, rasanya ingin segera pulang dan mengurungkan niatku untuk menemuinya.

Namun ketika pada akhirnya pintu itu terbuka, dan kami saling bertemu. Yang hadir adalah rasa canggung di antara kami. Aku tidak berani berkutik didepannya, begitu juga Dia yang hanya diam. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Segalanya terasa begitu cepat, hingga di hari terakhir kami bertemu sebelum Dia pergi ke Jakarta aku sungguh tidak ingin berpisah dengannya.

Sejak perjumpaan kami, kami makin saling mencintai. Bahkan Dia pernah berkata akan menikahiku selulus aku SMA. Ini gila. Kami terakhir bertemu 24 Februari 2007, setelah itu aku tidak pernah lagi berjumpa dengan Dia. Dia memutuskan hubungan kami 24 Maret 2007, katanya perbedaan kami terlalu jauh dan tidak mungkin dipersatukan.

Tetapi kami masih saling berhubungan tanpa status walau cinta itu masih ada. Akhir 2007, ayahnya di Yogyakarta meninggal. Dia sempta meminta waktu padaku untuk tidak diganggu setelah kepergian ayahnya.

Dan suatu siang, Januari 2008, Dia mengirimkan sebuah sms yang isinya mengatakan dia akan menikah dengan seorang gadis pilihannya pada bulan April. Perasaanku hancur. Aku menangis. Membanting semua barang yang berada dikamarku. Menangis sepanjang hari itu. Menangis ketika aku bangun tidur, mau tidur, kapanpun setiap aku mengingat Dia. Sampai rasanya tangispun sudah cukup dan airmata serasa habis, tak ada lagi tangis ketika ku mengingat rencana pernikahannya selain nafas yang sesak.

Namun sering Dia mengatakan kepadaku, betapa bimbangnya Dia dengan pernikahannya. Dia mengatakan Dia mencintai aku, tapi disisi lain Dia harus menikah. Satu sore, Dia memberitakan kabar bahwa pernikahan itu gagal. Rencana pernikahan itu bubar.

Jahatnya aku, aku malah merasa lega di hati. Tetapi, ketika tahu Dia menangis, bersedih dan terluka karena kegagalannya, aku menangis lebih biru lagi. Sudah sekian kali Dia berjanji akan datang menemuiku, namun janji itu palsu.

Bahkan ketika Dia menginap di salah satu hotel termahal di Jakarta untuk urusan pekerjaan, aku tidak diijinkan untuk menemuinya. Padahal hanya setengah jam perjalanan jarak kami kala itu. Sungguh menyakitkan.

Kini Dia menghilang. Terhitung sejak tanggal 27 September 2008, Dia tidak pernah membalas sms ataupun menjawab teleponku. Aku menangis dalam ketidakpastian dan ketidaktahuan. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tidak tahu.

Namun alangkah bahagianya ketika 13 Desember pagi, aku mengirimkan sebuah sms kepadanya yang berisi kalau aku sedang membuat sebuah tulisan dan kuharapkan doa serta restunya, Dia membalas pesan itu dengan satu kalimat : “Aku yakin kmu pasti bisa.”

Satu kalimat itu menunjukkan bahwa Dia tidak melupakanku. Bahwa mungkin, sesungguhnya, rasa itu masih tersimpan. Sebaris kalimat pendek itu mencerminkan dukungan yang artinya luar biasa besar untukku. Aku berjanji untuk Dia, aku akan menjadi yang terbaik untuknya. Maka, di sinilah kami, berdiri pada dua jalan berbeda, dengan cinta nyata yang tersimpan di hati. Selamanya.

Tambahan :
Tanggal 3 Agustus lalu, kami berjanji : seumur hidup tidak akan pernah melupakan satu sama lain, kecuali kami amnesia. Akan dikenang. Selamanya.

*) Baca juga : Aku dan Dia. Satu Jam Saja.

This is a song for Dia : *and each words mean so real to me*

Never Gone

The things we did, the things we said
Keep coming back to me and make me smile again
You showed me how to face the truth
Everything that's good in me I owe to you

Though the distance that's between us
Now may seem to be too far
It will never seperate us
Deep inside I know you are

Never gone, never far
In my heart is where you are
Always close, everyday
Every step along the way
Even though for now we've gotta say goodbye
I know you will be forever in my life (yeah)
Never gone

No no no
I walk alone these empty streets
There is not a second you're not here with me
The love you gave, the grace you've shown
Will always give me strength and be my cornerstone

(Somehow)
Somehow you found a way
To see the best I have in me
As long as time goes on
I swear to you that you will be

Never gone, never far
In my heart is where you are
Always close (always close)
Everyday (everyday)
Every step along the way
Even though for now we've gotta say goodbye
I know you will be forever in my life (in my life yeah)

Never gone from me
If there's one thing I believe (I believe)
I will see you somewhere down the road again

Never gone, never far
In my heart is where you are
Always close (always close)
Everyday (everyday)
Every step along the way
Even though for now we've gotta say goodbye (yeah yeah)
I know you will be forever in my life (in my life)

Never gone, never far
In my heart (in my heart is where) is where you are (you are)
Always close, everyday
Every step along the way

Never gone, never far
In my heart is where you are


written at♥13:22

♥20081209

Teks Lagu Downpour

Lagu ini punyanya Backstreet Boys, tapi asli...liriknya gue bangeedddd...

pleasetake a look... :D

oh yeah3x

ive been walking around inside a haze
between the lines of reason
hiding from the ghost of yesterday
feels like im barely breathing

i, i wanna feel the rain again
i, i wanna feel the water on my skin
and let it all just wash away in a downpour
i wanna feel the rain, feel the rain

ive been losing days
the shades pulled down
i still cant face the sun

but im going crazy
i cant stay here
ive gone completely numb
i just wanna need someone

i, i wanna feel the rain again
i, i wanna feel the water on my skin
and let it all just wash away in a downpour
i wanna feel the rain, feel the rain

oh no, i thought you were the only one
but now i think i was wrong
cause life goes on

ive been walking around inside a gaze

i, i wanna feel the rain again
i, i wanna feel the water on my skin
and let it all just wash away in a downpour
i wanna feel the rain

i, i wanna feel the rain again
i, i wanna feel the water on my skin
and let it all just wash away in a downpour
i wanna feel the downpour, i wanna feel the rain

in a downpour, feel the rain
feel the rain oh,oh
i wanna feel the rain

written at♥14:29


Tugas Deskripsikuu..

Cuaca hari ini begitu bersahabat. Matahari tak kelihatan. Angin semilir berhembus menyejukan badan. Orang-orang memulai aktivitas pagi ini, lalu-lalang sana sini. Aku dan seorang temanku memulai aktivitasku pergi ke kampus, berjalan kaki menyeberang jembatan tinggi.

Di ujung kaki jembatan terdapat sebuah meja yang terbuat dari triplek tipis bertopang krat-krat minuman. Diatas meja tersebut dijajakan berbagai majalah dan koran serta gantungan kunci dengan macam-macam bentuk. Beberapa meter setelah itu terdapat aneka kaos lucu seharga 20rb. Tepat disebelahnya terdapat penjual payung dengan berbagai macam model dan warna. Setelah mendaki 40 anak tangga,di ujung kanan jembatan ini terdapat penjual aksesoris handphone. Penjualnya seorang laki-laki tambun mengenakan kaos hitam berkerah dan celana jeans lusuh.

Di sepanjang jembatan ini ada satu bagian dimana terdapat dua anak tangga untuk menuju jembatan yang lebih tinggi. Ditangga ini setiap paginya ada seorang kakek tua yang duduk dengan bertopang dagu ditelapak tangan yang bertumpu pada kedua lututnya. Ia mengenakan kemeja garis-garis biru kehijauan dan celana panjang abu-abu yang dilipat hingga atas lutut. Disebelahnya mata kakinya terdapat sebuah peci yang dijadikan tempat untuk menampung sedekahan yang diberi orang. Ada tiga lembar uang seribuan di dalamnya. Disebelah peci tersebut terdapat sebuah kertas bertuliskan “Kakek sakit hernia dan prostat. Butuh uang untuk operasi.”

Di jembatan ini juga terdapat jualan sandal jepit merk converse. Tentunya bukan converse asli. Tak jauh setelah itu,kita akan menemukan seorang bapak tua berjualan tissue dan rokok. Dia akan menawarkan barang dagangannya pada siapapun yang lewat. Ada juga penjual majalah-majalah bekas termasuk National Geographic dan I-Arch,majalah arsitektur.

Didekat sini, kanopi-kanopi sudah terlihat bolong-bolong. Tidak memberi kesempatan matahari untuk bersembunyi, dan membiarkan hujan turun membasahi. Di bawah jembatan ini, ada sebuah sungai besar yang warnanya menghitam, sampah-sampah menggenang dan jika hujan tidak turun, maka airnya diam bisu, tak mengalir dan terkadang menimbulkan bau.

Ada seorang pengemis yang menarik perhatianku. Pakaiannya lusuh, rambutnya hanya satu centi dari kepala. Berkumis tebal. Berwajah kusam dan ekspresi wajahnya menyiratkan kemarahan. Ia menggunakan gelas plastik hijau untuk mengemis. Jika tidak ada yang memberinya uang, ia akan marah. Teriak-teriak dengan kesal memarahi orang-orang yang lewat. Terkadang aku melihatnya merokok diselingi amarah yang tiada henti.

Jembatan ini membawa banyak cerita. Bukan hanya pedagang-pedagang biasa, tetapi dibalik semua itu ada kehidupan-kehidupan yang tak terjamah orang biasa.


written at♥14:28


Dihatimu,Hari ini, Esok dan Selamanya-Unfinnished

Untaian Pembuka...

Jika seorang yang kau cinta meninggalkanmu, jangan menangis. Setidaknya dia pernah mewarnai hari-harimu.

Lt.Basement

Mal DioDiosa

22.09 WIB

“Malam,Pak.”

Lelaki itu lalu terhenti dari langkahnya. Ia tersenyum. Tanda keramahan seorang atasan.

“Malam. Belum pulang? ”

“Lagi nunggu teman sih, tapi gak tau jadi atau enggak jemput saya. Lagipula saya udah biasa pulang sendiri kok.”

“Oh ya, nama kamu?”

“Kemala Dewi. Saya kerja sebagai kasir di salah satu kafe di mal ini. Mungkin anda jarang melihat saya, tapi saya melihat anda setiap hari.”

Senyum manis tersungging di wajah Kemala. Setiap hari aku selalu memperhatikan dirimu. Memandangimu membaca kata demi kata dalam novel yang kau baca. Beda hari, maka beda pula novelnya. Sempat ku bertanya-tanya, berapa ribu buku yang kau punya? Namun aku tidak punya nyali untuk mempertanyakan itu padamu. Aku lebih memilih diam dari kejauhan, karena memandangmu sudah memberikanku ketenangan.

“Oh ya? Maaf, saya merasa baru ketemu kamu malam ini. Tapi saya senang bisa kenal sama kamu. Ngomong-ngomong kasir di kafe apa?”

Kafe yang setiap hari kau datangi. Yang salah satu sudutnya selalu menjadi tempatmu menikmati senja. Lagi, ku bertanya. Apakah sudut yang satu itu sudah kau beli dengan harga berjuta-juta? Meja nomor 7, di dekat jendela sebesar dinding itu sepertinya tercipta untukmu. Ketika senja sudah menggapai waktu, tak satupun orang yang berani duduk disitu.

“Maaf,Pak. Sudah hampir jam setengah sebelas, saya harus pulang. Permisi.”

Jelas kau tak pernah tahu, di mana kau akan menemukanku. Setelah habis satu buku yang kau baca, setelah habis dua cangkir black coffee tanpa gula. Kau lalu pergi begitu saja. Meninggalkan selembar uang seratus ribuan di bawah cangkir. Mana pernah kau tengok ke kasir?

©©©


Untaian Pertama...

Jika seorang yang kau cinta menyakitimu, jangan menangis. Dia hanya tidak tahu apa yang dilakukannya.

Sepertinya malam ini Aryo batal menjemput. Dari tadi Kemala terus menghubungi ponselnya tapi tidak ada jawaban sama sekali. Kemala pun terpaksa harus pulang sendiri. Di dalam bus ia terdiam, membaca sebuah tabloid gosip yang dibelinya sebelum pulang tadi. Setelah turun dari bus, ia masih harus berjalan beberapa ratus meter untuk sampai di rumahnya. Betapa panjang jalan yang harus kutempuh hanya untuk melepas penat.

Ketika ia berjalan di malam gelap, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada apa ini? Apa aku diikuti seseorang? Atau malah dihantui? Benar saja, tak lama tiga orang lelaki muda menghadang dirinya. Mereka mencoba merampas tasnya. Kemala mempertahankan tas itu semampu dirinya. Yang penting bukan tasnya, bukan dompet atau handphone di dalamnya. Tapi ada sesuatu, yang teramat penting. Sebuah rekaman video yang menentukan hidup mati ayahnya.

Kemala berupaya sekuat tenaga. Namun apa daya, dirinya hanya perempuan lemah diantara tiga lelaki itu. Salah satu dari mereka membekap mulut Kemala. Tak membiarkannya mengeluarkan suara. Kebetulan, seorang tukang ojek lewat dan berusaha membantu kemala.

“Heh!!! Lepasin perempuan itu! Atau saya panggil keamanan sekarang juga!!”

Tiga lelaki itu berlari meninggalkan Kemala. Takut dengan ancaman si tukang ojek yang pasti bergerak lebih cepat dari mereka dengan sepeda motor yang ia bawa. Mambawa dompet, handphone dan semua barang berharga di dalam tasnya. Meninggalkan tas yang sudah robek itu di jalanan, dan kaset video yang telah rusak terinjak salah satu penjahat tadi.

“Neng, gak apa-apa? Sini atuh, mari saya antar ke rumah. Lain kali mah ulah baik sorangan atuh Neng. Geus peuting kieu.” (Lain kali jangan pulang sendirian, sudah malam.)

©©©

Rumah Kemala

00.05 WIB

Tukang ojek tadi mengantarkan Kemala hingga ke depan rumahnya tanpa biaya sepeser pun. Kemala benar-benar berterimakasih kepada tukang ojek itu. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Tuhan.

Sudah tujuh bulan Kemala tinggal di rumah itu sendirian. Adik laki-lakinya Tyo, meninggal dua bulan yang lalu karena penyakit demam berdarah. Ibunya pergi meninggalkannya sejak Kemala masih SMP. Setelah bercerai dengan ayahnya, beliau menikahi pria Jerman dan tinggal di sana bersamanya.

Setahun yang lalu, Kemala masih tinggal di rumah mewah di tengah kota bersama ayah dan almarhum adiknya. Hingga suatu malam, ayahnya difitnah melakukan pembunuhan terhadap salah satu direktur bank di sebuah restoran yang terletak di salah satu hotel bintang lima. Semua bukti mengarah pada ayahnya. Setelah itu rumah mewah ayahnya disita, mereka diusir dan ayah Kemala divonis hukuman penjara tiga tahun dan hukuman mati. Sampai detik ini Kemala belum bisa memberikan bantuan apa-apa untuk menyelamatkan ayahnya.

Kemala yakin, ayahnya pasti dijebak seseorang. Dulu, ketika polisi menyelidiki kasus pembunuhan direktur bank tersebut, disebutkan bahwa rekaman CCTV yang seharusnya menjadi bukti utama bahwa ayahnya tidak bersalah telah hilang. Terlebih lagi, malam itu si direktur bank memesan ruangan private untuk membicarakan bisnis penting dengan ayahnya. Hari ini, sahabatnya Aryo berhasil menemukan rekaman itu.

Awalnya,Aryo menggunakan berbagai cara untuk mencari tahu kebenaran di belakang ini semua. Setelah tidak menemukan bukti apapun,empat bulan setelah pembunuhan itu terjadi Aryo menggunakan senjatanya sebagai seorang pria tampan penuh pesona dengan mengencani seorang gadis pramusaji di restoran itu dan meminta gadis itu untuk menceritakan semua hal yang terjadi di restoran tersebut setelah pembunuhan itu terjadi. Berdasarkan cerita Erna, si pramusaji itu, sehari setelah pembunuhan itu, Wawan yang bertugas menjaga ruangan video keamanan hotel mengajukan surat pengunduran diri dengan alasan harus menjaga ibunya yang sedang sakit di Manado. Seminggu setelah insiden itu, Idham yang bekerja sebagai salah satu pengawas video-video CCTV juga mengundurkan diri dengan alasan harus ikut mengubur saudara yang meninggal di Yogyakarta.

Lalu Aryo mendatangi rumah kedua pria itu di Jakarta. Namun, sayangnya istri dan anak Wawan tidak tahu keberadaan Wawan. Parahnya lagi, Wawan sama sekali tidak mempunyai keluarga di Manado. Menurut istri dan anaknya, keluarga Wawan berada di Yogyakarta.

Idham sendiri setelah dicari tahu latar belakangnya, ia tidak punya siapa-siapa di Jakarta. Ia tinggal di kost-kost an di daerah Krukut Lio dan sekarang sudah tidak tahu di mana rimbanya. Namun, dengan pandai Aryo berinisiatif menghubungi kantor telkom, mengakui dirinya sebagai Wawan dan meminta hasil print-an rekening teleponnya untuk dikirimkan ke rumah Wawan. Pukul tiga pagi-pagi buta, Aryo mendatangi rumah Wawan dan mengambil surat dari telkom itu di kotak surat. Di rekening telepon tersebut, tercatat istri Wawan sering mengadakan sambungan telepon dengan nomor yang memiliki kode area 024, kode area kota Semarang. Yang lebih hebatnya lagi, di kotak surat itu Aryo menemukan surat yang dikirimkan Wawan untuk istrinya. Disitu tercantum jelas alamat di mana Wawan tinggal di kota Semarang.

Akhirnya, Aryo yang bekerja sebagai broker di salah satu pengusaha properti terkemuka menggunakan alasan ‘mencari lokasi’ untuk menyelidiki Wawan. Ia pergi ke Semarang dan mendatangi alamat yang tertera di surat yang dikirimkan Wawan. Di sana, dengan diiringi ancaman bahwa Aryo akan lapor polisi Wawan pun mengaku kalau ia disuruh oleh seorang wanita melalui telepon untuk segera pergi dari Jakarta dan membawa rekaman video itu. Jika Wawan tidak mengikuti kata-kata wanita itu, wanita tersebut mengancam akan membunuh semua anggota keluarga Wawan. Namun Wawan tidak tahu siapa wanita itu, katanya wanita itu kemungkinan adalah wanita yang menjebak ayah Kemala. Satu-satunya bukti hanya ada di rekaman CCTV itu. Wawan pun menyerahkan rekaman itu dengan jaminan drai Aryo kalau Aryo akan melindungi keluarga Wawan dari serangan siapapun.

Setelah memastikan kalau rekaman itu benar-benar akurat, Aryo memberikannya pada Kemala hari ini. Namun sayang, rekaman itu kini sudah rusak akibat para pemuda tidak bertanggungjawab tadi. Sekarang, semua harapannya sirna. Kemala tinggal bisa berdoa dan berharap semoga kebenaran akan datang tepat pada waktunya.

Ketika Kemala hendak mencuci muka sebelum tidur, Kemala merasakan sesuatu di wajahnya.

“Aduhh......sialan!!”

Mungkin karena terlalu memikirkan rekaman video yang rusak itu, Kemala tidak menyadari pipinya yang luka akibat diancam dengan pisau oleh pemuda-pemuda tadi. Sekarang ada luka di pipi putihnya. Begitu melihat luka itu, ia buru-buru mengobatinya.

“Brengsek!! Gimana gue kerja besok? Sialann.....!Udah videonya rusak, muka gue ikut-ikutan rusak! Aduh...terus kalau gue ketemu Pak Kafka gimana??”

Kemala langsung membayangkan wajah pria yang selama ini menarik hatinya. Managing Director Mal DioDiosa. Pria tampan yang setiap hari datang ke kafe tempat dia bekerja, pria yang tadi bertanya-tanya di mana dia bekerja. Tidak mau pusing memikirkan esok hari, Kemala membanting tubuhnya ke ranjang dan menutup rapat-rapat wajahnya dengan bantal.

©©©


Kofie Break

18.45 WIB

Sudah sejak satu jam yang lalu Kemala memperhatikan pria itu. Kali ini, ia tidak membaca seperti biasanya. Kali ini ia duduk tegak di hadapan laptop, mungkin sedang menyelesaikan sesuatu, atau sedang chatting dengan seseorang? Kemala tidak tahu. Ia hanya bisa bertanya-tanya dalam hatinya. Tak lama lelaki itu bangkit dari tempat duduknya, menutup layar laptopnya, menghabiskan black coffee yang dipesannya. Tapi kali ini ia tidak mengeluarkan dompet dari saku celananya dan meninggalkan seratus ribuan di atas meja. Ia pergi begitu saja menuju meja yang lain. Meja kasir.

Di kafe itu ada dua buah kasir, keduanya bersebelahan untuk menghindari antrian panjang yang mau membayar. Untungnya Kemala sedang melayani pelanggan yang lain sehingga pria itu membayar di kasir sebelahnya. Ketika hendak mengambil struk pembayaran, tiba-tiba pria itu menyadari sesuatu. Ia melihat Kemala di samping kasir yang melayaninya.

Pandangan mereka beradu sesaat. Kemala langsung menundukan. Tak kuasa ditatap segitu tajam. Namun apa daya, pria itu lalu buka suara.

“Kamu...? Kamu yang tadi malam ketemu saya di basement kan?”

Dengan berbagai usaha Kemala mencoba tersenyum sambil menutupi luka di wajahnya. Kening pria itu berkerut sesaat, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

“Nama kamu Dewi ‘kan? Maaf saya tidak mudah menghapal nama orang lain.”

Kemala lagi-lagi tersenyum.

“Iya,Pak.” Gue masih bersyukur lu inget nama belakang gue, daripada gak inget sama sekali.

“Ok, kalau begitu. Selamat bekerja.”

Kafka lalu pergi dengan seulas senyuman di bibirnya. Kemala tidak akan pernah melupakan senyum itu. Duh, ini orang baik banget sih? Senyumnya itu loh. Kemala tersenyum sendiri mengingat senyuman Kafka. Tak lama ia memukul-mukul dahinya sendiri. Bego lu! Jangan ge-er dulu lah, namanya juga managing director, ya pasti baik sama semua karyawan.

©©©

“Terima kasih, lain kali kembali.”

Itulah kalimat yang harus diucapkan setiap kasir setelah melayani pelanggan di Kofie Break.

“Kemala Dewi..... Ada telepon, dari Aryo.”

Rena, rekan kerjanya sesama kasir memanggil.

Mendengar sahabat karibnya sedang menuggunya di ujung telepon, ia segera bergegas menjawab telepon itu.

“Halo,Yo?”

“Lu kemana aja sih hp lu gue hubungin gak pernah aktif? Gimana rekamannya udah lu liat?”

Kemala memukul dahinya sendiri.

“Aduh,Yo!! Gue lupa banget mau nelepon lu kemarin! Hp gue tuh dicopet pas gue balik kemarin malam, terus rekaman video itu rusak karena jatuh dari tas gue and keinjak sama copetnya.”

“Lu gimana sih?! Gue udah susah payah nyari bukti buat ayah lu, malah lu biarin rusak gitu aja.”

Mendengar kata-kata Aryo yang diucapkannya dengan nada begitu marah, hati Kemala teriris dibuatnya. Aryo lebih mementingkan rekaman itu daripada dirinya.

“Yo, kehilangan kaset video itu udah berat banget buat gue karena berarti gue harus cari bukti lagi buat nyelamatin ayah gue. Gue juga nyesel banget,Yo. Tapi mau gimana lagi? Gue cewek sendirian, sedangkan copetnya cowok semua tiga orang! Lagian lu sebegitu teganya sama gue, bilangnya mau jemput gue ternyata gak ada kabar sama sekali dari lu. Akhirnya gue pulang sendiri, terus gue kecopetan. Kok lu gak prihatin-prihatinnya sih sama gue?”

“Ya ampun,La... sorry...gue kemarin itu mau jemput, tapi masal....”

Sebelum Aryo sempat meneruskan kalimatnya, Kemala segera mengakhiri pembicaraan.

“Gue tau masalah lu banyak! Udah jangan telepon-telepon gue, gue lagi kerja. Nanti bos gue mecat gue cuma gara-gara gue telepon-teleponan sama lu.”

©©©

Untaian Kedua...

Jika seseorang yang kau cinta tidak mencintaimu, jangan menangis. Setidaknya kau pernah mencintai orang seperti dia.

Lt.Basement

Mal DioDiosa

22.01 WIB

“Malam,Pak.”

Lelaki itu lagi. Lagi-lagi langkahnya juga terhenti. Madewa Saputra.

“Malam. Nunggu jemputan? Hmm...maaf, muka kamu kenapa?”

Shit! Bener kan luka di muka gue bakal jadi perhatian orang-orang? Sebel banget deh.

“Mmm...sepertinya malam ini saya gak dijemput. Kalau masalah muka, sebenarnya ini musibah aja, gak sengaja dilukain orang-orang tidak bertanggungjawab.”

Kemala berusaha terlihat sebiasa mungkin dengan senyuman paling mutakhir menurut dirinya sendiri. Ia takut hanya karena luka di pipinya ini akan mengubah topik pembicaraan manjadi tidak menyenangkan. Kriminalitas.

“Penjahat maksudnya?”

“Yaa...begitulah. Saya rasa tidak perlu dibahas lagi, toh kejadiannya juga udah kemarin malam. Past is past, kan?”

Mata lelaki itu, yang sejernih samudera menerawang sesaat.

“Kemarin malam? Setelah kamu pulang kerja? Memang gak ada yang antar kamu pulang? Perlu saya antar?”

Wow....tawaran menggiurkan. Siapa yang menolak diantar pria setampan ini dengan mobil mewah keluaran terbaru? Tapi apa daya, gengsi mengalahkan segalanya. Daripada gue dicap sebagai perempuan yang suka mengambil keuntungan dalam kesempitan, mendingan enggak aja deh.

“Gak usah,Pak. Makasih banyak. Saya gak mau ngerepotin.”

Saya gak mau ngerepotin? Kenapa kalimat kayak gitu yang keluar dari mulut gue?? Aduh....! Tertuduh sebagai tersangka yang ‘merasa direpotkan’ malah membuat orang menegaskan bahwa ‘saya tidak direpotkan’ dan semakin gencar menawarkan bantuan. Duh, bego!!

“Gak kok, gak ngerepotin. Memang saya bukan atasan kamu secara langsung, tapi kan kamu bisa menganggap ini sebagai tawaran seorang pria yang melakukan tugasnya melindungi wanita, gimana? Saya harap kamu gak nolak tawaran saya.”

Duh!! Kalau gue berduaan ama dia di mobil, terus tiba-tiba gue kebelet pengen nyium dia gimana? Huhuhu...gue kan udah lama banget naksir dia.

“Rumah saya jauh,Pak. Di daerah Cibinong. Bisa satu jam dari sini. Nanti bapak kemalaman nganterin saya.”

Tiba-tiba lelaki tampan ini tersenyum. Wajahnya tersenyum penuh kemenangan. Nih orang senyumnya bahagia amat,kenapa ya?

“Rumah saya di Cibubur. Dari sini ke Cibubur kan pasti ngelewatin Cibinong. Jadi kamu gak ada alasan untuk tidak menerima tawaran saya.”

©©©

Mobil Kafka

22.20 WIB

Suasana dalam mobil begitu hening. Terlebih lagi Kafka, seorang managing director di mal besar seperti DioDiosa tidak pernah membawa mobilnya sendiri tetapi selalu ditemani supir yang setia. Kafka dan Kemala duduk di jok belakang berdua. Sedari tadi Kafka terus memandang ke arah luar, memandangi jalan yang masih saja ramai. Kemala terus bergelut dengan pikirannya sendiri. Duh, sepi banget sih. Pak Kafka kok diam aja ya? Apa bete gara-gara nganterin gue pulang? Pengen ngajak ngobrol gue gengsi, masa’ gue ngomong duluan? Lagian ngomong apaan? Haduh...setidaknya nyalain CD kek, radio atau apa gitu biar gak sunyi senyap begini?

“Dewi...” suara berat yang menentramkan hati itu menyapa telinga Kemala.

“Iya, Pak. Maaf sebelumnya, kalau bapak tidak keberatan saya lebih nyaman dipanggil Mala, Dewi itu nama ibu saya.” Ibu yang tega meninggalkan anaknya.

Lelaki itu tersenyum. “Ok. Mala, kalau boleh tahu sudah berapa lama kamu kerja di Kofie Break?”

“Yaaa....kurang lebih baru satu tahunan lah. Tadinya lulus dari Taruna Bangsa mau langsung kuliah, tapi berhubung keterbatasan biaya ya gak jadi. Lagian seru juga kok kerja di Kofie Break.”

Kali ini Kafka membetulkan posisi duduknya supaya lebih nyaman berbicara dengan Kemala. Ada sesuatu yang menarik dirinya untuk mengenal lebih dekat perempuan ini.

“Taruna Bangsa? Maksud kamu SMA Taruna Bangsa?”

Kemala mengangguk. Senyum Kafka mengembang, jauh lebih lebar dari senyum sebelumnya.

“Kamu lulusan SMA sana? Saya juga dari sana. Tapi lulus dari sana saya langsung kuliah di Chicago. Kalau tidak salah, saya lulus dari sana itu sekitar tahun...mmm.. berapa ya? ...1993.”

Kemala hampir saja terbahak mendengar kalimat yang diucapkan Kafka. Betapa hatinya senang menemukan dirinya ternyata satu almamater dengan lelaki ini, namun ia tidak pernah menyangka kalau lelaki yang disukai ini benar-benar sudah tua. Ia hnya mampu tersenyum sambil menahan tawa.

“Berarti saya satu almamater dengan bapak, hanya saja...”

Kemala kembali tersenyum membuat Kafka penasaran.

“Hanya saja kenapa?”

Lagi-lagi Kemala tersenyum. “Saya lulus tahun 2006.”

Kali ini Kafka tidak lagi penasaran, ia tertawa sendiri. Tidak pernah menyangka kalau wanita di hadapannya ini masih begitu muda.

“Gak apa-apalah. Yang penting satu almamater, walau berbeda satu dekade. Bahkan lebih. Hehee... saya kira kamu sudah berumur duapuluhlima-an.”

“Apa tampang saya setua itu? Gak apa-apa deh.”

Siapa tau gue jodoh sama lu, kalau orang ngira gue udah tua kan gue gak dikira jalan sama om-om. Hehehe...

“Pak, rumah saya yang di gang depan itu.”

Tidak terasa hanya beberapa percakapan singkat sudah membuat mereka lupa waktu, tahu-tahu sudah sampai di daerah rumah Kemala.

“Jangan panggil saya bapak lagi, nanti orang dengar dikira saya bapak kamu. Kalau diluar kantor kamu bisa panggil saya langsung dengan nama aja. Lagipula saya kan bukan atasan langsung kamu. Diluar atau didalam mal, kamu boleh langsung panggil nama saya.”

“Mmm..gimana kalau Mas Kafka? Kalau langsung panggil nama rasanya gak enak. Hehehe...”

Kafka hanya tersenyum dan mengangguk. Tak lama mereka sudah tiba di depan rumah Kemala.

“Sudah sampai rumah saya,Pak. Eh...maksudnya sudah sampai,Mas. Hehehe... mau mampir?”

Kafka dengan santai menjawab. “Boleh.”

Kemala sempat kaget mendengar jawaban yang terlontar dari bibir Kafka. Sebenarnya ia masih belum siap jika Kafka harus mampir ke rumahnya. Duh, lelaki ini...

Kafka tersenyum jahil. “Kaget ya? Makanya jangan basa-basi. Ya udah, cepat masuk sana.Saya gak jadi mampir, gak enak sama orang rumah kamu.”

“Saya tinggal sendirian kok. Tapi ya udah, sekali lagi makasih ya,Mas. Pak supir makasih ya. Selamat malam.”

©©©

Mobil Dewa

23.00 WIB

Pak Tresno, supir setianya Kafka tak henti memperhatikan atasannya dari spion dalam. Menyadari kalau dirinya diperhatikan, Kafka angkat bicara.

“Kalau nyetir lihat ke depan,Pak. Nanti kenapa-kenapa. Jangan lihat saya terus, di muka saya gak ada penunjuk jalan.”

Pria berumur 44 tahun itu tertawa. “Hahaha...Masnya bisa aja. Kalau saya boleh jujur, saya rasa Masnya naksir sama Mbak yang tadi ya?”

“Pak Tresno...Pak Tresno...ckckck...masa iya saya naksir sama perempuan yang saya baru kenal kemarin? Ngobrolnya juga baru hari ini. Emang keliatannya begitu?”

Kali ini Pak Tresno hanya cengar-cengir.

“Yaah..abis Masnya sejak Pak Krisna pergi bawaannya marah-marah terus. Kalau gak marah-marah pasti diam aja. Gak seperti waktu sama Mbaknya, tadi kayaknya seneng, bahagia gitu loh Mas.”

“Masa sih saya marah-marah terus? Yaahh..lagian bapak kayak gak tau aja, Om Krisna itu kan udah saya anggap ayah sendiri, beliau yang udah membesarkan saya sampai jadi kayak gini,jelas aja saya jadi stres waktu beliau harus pergi.”

©©©

Mal DioDiosa Lt.6

Ruang Kerja Kafka

09.00 WIB

Kafka duduk berseberangan dengan asistennya, Andro. Mereka sudah setengah jam membicarakan acara launching sebuah website baru keluaran CyberTeqh yang akan diadakan di hall mal DioDiosa siang hari ini.

“Ok, jadi semuanya sudah siap. Jangan lupa hubungi E.O yang kemarin itu untuk datang dua jam sebelum acara dimulai.”

“Baik,Pak. Permisi.”

Namun ada sesuatu yang membuat Kafka menahan asistennya itu pergi meninggalkan ruangan.

“Tunggu. Saya mau tanya sesuatu.”

“Silahkan,Pak. Mau tanya apa?”

“Mmmm...sebenarnya ini diluar urusan pekerjaan, tapi saya tidak tahu tanya siapa. Begini...kalau kamu sedang menyukai seseorang, tapi kamu baru kenal sama dia gimana?”

Andro tersenyum. Sedikit terkejut mendengar pertanyaan atasannya.

“Bapak sedang menyukai seseorang? Yaa...tergantung sih,Pak. Kalau berada dalam lingkungan yang sama dengan bapak, bapak bisa mencari cara untuk mendekati perempuan itu dengan cara menciptakan kebetulan-kebetulan mungkin? Tapi kalau berada pada lingkungan yang berbeda ya berarti bapak ha...”

“Udah-udah. Cukup jawabannya. Makasih ya.”

©©©

Kofie Break

15.01 WIB

“La, dipanggil Pak Bayu suruh ke ruangannya.”

Kemala terdiam tanpa menjawab sepatah kata pun dan langsung pergi menuju ke ruangan manajernya itu. Kenapa ya? Salah apa ya gue, dia kan kalau manggil karyawan biasanya kalau karyawan ada salah aja.

“Permisi,Pak. Bapak manggil saya?”

Bayu, pria dingin itu diam sesaat dibalik meja.

“Iya, tadi kantor atas telepon saya. Katanya kamu disuruh nemuin Pak Kafka di ruangannya. Memang kamu buat salah sama dia? Kalau iya, saya harap tidak ada sangkut pautnya dengan kafe kita. Saya paling malas mengurusi urusan yang bukan urusan saya.”

Duh ini orang curigation amat sih!Bete gue!

“Saya rasa sih tidak hubungannya dengan Kofie Break, lagipula kalau pun ada semestinya yang dipanggil bukan saya, tapi bapak. Ya kan? Makasih,Pak. Permisi.”

Kemala pergi meninggalkan ruangan Pak Bayu sementara Bayu sendiri masih setia dengan wajah dinginnya, tanpa ekspresi. Walaupun dalam hati ia menyimpan kesal. Kemala tidak tahu kenapa, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Duh, ngapain dia manggil gue segala sih? Bikin gue deg-degan aja. Kemala buru-buru melangkahkan kakiknya keluar kafe, sebelum Rena memanggilnya.

“La!! Mau ke atas ya?”

“Kok lu tau?”

“Tunggu dulu. Kata Pak Bayu, lu ke atas sekalian anterin black coffee buat Pak Kafka.”

©©©

Mal DioDiosa Lt.6

Ruang Kerja Kafka

15.17 WIB

“Permisi,Pak. Black coffee-nya mau ditaruh di mana?”

“Terserah.”

Kemala meletakkan cangkir itu di atas meja tamu ruang kerja Kafka. Kafka hanya tersenyum sambil terus memandangi Kemala.

“Katanya mau manggil saya Mas Kafka? Kok bapak lagi?”

“Tapi sekarang kan saya lagi nganterin minuman buat Mas Kafka, konteksnya di sini kan saya bawahan Mas. Permisi,Pak. Nanti kalau kopinya sudah habis, bapak bisa panggil saya lagi, nanti saya bawa cangkirnya.”

“La,tunggu...”

“Ada apa,Pak?”

“Nanti malam, boleh saya antar kamu pulang lagi?”

Duh, mau banget lah gue! Tanpa sadar, pipi Kemala bersemu merah karena senang.

“Kalau tidak merepotkan, saya tidak keberatan.”

“Boleh minta nomor hp kamu? Malam ini saya ada janji sama orang di luar, nanti kalau kamu sudah pulang kamu bisa hubungi saya.”

Mas Kafka kok ngebet banget pengen nganterin gue pulang ya? Jangan-jangan dia naksir gue? Hehehe...duh, mimpi kali ya? Gak mungkin lah.

“Maaf,Pak. Hp saya kan dua hari yang lalu dicopet orang, saya belum beli lagi.”

“Oh...”

“Permisi,Pak.”

©©©

Kofie Break

18.35 WIB

Walau kini aku sudah mengenalmu, aku masih tak jemu memandangimu. Lagi, kau membaca sebuah buku. Tetap di meja nomor 7.

“Permisi,Mbak.”

Suara seorang pria membangunkan Kemala dari lamunan.

“Ada apa,Mas?”

“Saya mau mengirimkan paket untuk Kemala Dewi, kalau tidak salah dia kasir di kafe ini.”

Kemala memandangi pria ini. Gak kayak tukang nganter-nganter paket deh. Keren banget dandanannya. Pria ini mengenakan kemeja putih garis-garis dengan dasi merah maroon. Di tangannya ia membawa sebuah kotak pink berpita.

“Saya Kemala Dewi. Emangnya Mas dari mana ya?”

“Saya tidak bisa memberitahu,Mbak. Lagipula Mbak akan tahu setelah Mbak membuka paket ini.”

“Makasih.”

Pria itu lalu pergi meninggalkan ruangan. Tanpa Kemala sadar sejak tadi ada yang memperhatikannya dibalik sebuah buku. Madewa.

Rena, rekan kerjanya sesama kasir ikut penasaran melihat kotak yang kini berada di tangan Kemala.

“La, paket apaan tuh? Manis bener pake dipitain pink segala. Kardusnya juga warna pink lagi. Coba lu buka. Ati-ati bukanya, biasanya yang luarnya so sweet gitu dalamnya peledak.”

“Apaan sih lu? Jadi orang parno amat. Bentar gue buka dulu di belakang ya.”

Kemala bergegas menuju ke dapur membawa paket tersebut. Ia terus bertanya-tanya dalam pikirannya. Apaan sih nih? Ketika sampai di dapur dan mebuka isi kotak tersebut, Kemala semakin terkejut. Sebuah ponsel. Bukan sembarang ponsel,yang dihadapannya adalah communicator keluaran terbaru.

Di bawah ponsel itu ada sebuah amplop kecil. Di dalam amplop itu ada sebuah kartu yang bertuliskan :

Saya memberikan ini supaya kamu bisa

menghubungi saya nanti malam.

Semoga kamu menyukainya. Kalau kamu tidak suka

jangan dikembalikan pada saya, buang saja atau

berikan kepada orang lain.

Oh iya, ini nomor hp saya : 0811111191

C u...

Duh gila juga nih orang! Mana mungkin handphone bagus seharga sepuluh juta ini gue buang?Tapi kan gak lucu aja, masa gue kerja jadi kasir doang pake communicator? Manajer gue aja handphonenya masih handphone jaman kuda yang segede apa tau. Gimana ya? Mending gue samperin aja deh orangnya.

Kemala kembali ke kasir, ia terkejut karena begitu ia menoleh ke meja nomor tujuh, lelaki itu sudah tidak ada. Padahal saat itu, communicator itu masih berada di genggaman. Rena penasaran dibuatnya.

“La, gila lu! Handphone siapa lu pegang-pegang? Ati-ati tuh,jangan ampe lecet.”

“Na, Pak Kafka udah keluar ya?”

“Iya kayaknya. Tapi gak bayar di kasir, kayaknya ninggalin uang dibawah cangkir.”

Kemala semakin kebingungan. Cepet banget tuh cowok ilangnya.

“Na, bentar ya. Gue ada urusan bentar aja. Dadah...”

“Eh..eh!! Entar kalau Pak Bayu nanya gimana?”

“Ke WC lagi pup!!!”

Kemala berlari menuju elevator. Ia segera naik ke lantai 6. Namun apa yang ia dapatkan begitu sampai ke kantor Kafka? Ruangannya kosong.

©©©

Lt.Basement

Mal DioDiosa

22.09 WIB

Kemala sudah menghubungi Madewa untuk datang ke mal. Bukan untuk mengantarnya pulang, tapi untuk mengembalikan ponsel ini. Mercedes Benz E-class terbaru itu datang,mobil Kafka. Kali ini dia menyetir sendiri. Di belakang mobil itu ada sebuah Land Cruiser hitam mengikuti.

Kafka turun dari mobil, sudah dengan pakaian santai. Polo shirt putih, celana bermuda warna beige, dan sendal sepatu.

“Mau pulang sekarang?”

Kemala agak sedikit terkejut mendengar kalimat yang barusaja diucapkan Kafka. Dia ngajakin pulang udah kayak pacar gue aja, maen langsung tanya mau pulang sekarang atau enggak, padahal baru kenal tiga hari. Feeling gue sih kayaknya dia beneran suka nih ama gue, hehehe.

“Mas, sebenernya saya tadi minta Mas Kafka datang ke sini karena saya mau mengembalikan ponsel ini. Rasanya gak pantas saya yang kerjanya cuma jadi kasir pake handphone beginian.”

“Gimana kalau ngomongin masalah ponsel ini nanti aja di mobil?”

“Tapi saya mau pulang sendiri aja,Mas.”

Tiba-tiba pengemudi Land Cruiser hitam tadi turun dari mobil. Memanggil seseorang.

“Kemala!”

Kemala mencari arah suara yang memanggil. Aryo?! Duh, males banget ketemu dia hari gini. Dari kemaren nyuekin gue gitu aja, tau-tau sekarang dateng ke sini. Teman apaan kayak gitu? Huuh...

“Mas Kafka, saya berubah pikiran. Ayo kita pulang.”

©©©

Mobil Kafka

22.45 WIB

“Hahahaa....Pak Darman itu, waktu saya masih sekolah di sana jadi pujaan murid-murid cewek tahu! Pernah satu kali sewaktu lagi ngajar di kelas terus digodain sama teman saya yang perempuan, dia sok-sok tersipu malu. Kegeeran banget tuh orang, sampai-sampai waktu mau keluar kelas, kesandung depan pintu! Cuma gara-gara grogi sama murid-murid cewek di kelas saya!”

Kafka nampak bahagia menceritakan memorinya kala masih sekolah dulu. Banyak hal yang sangat dirindukannya dalam masa-masa sekolah di Taruna Bangsa, kerinduan itu sedikit terobati setelah mendengar cerita-cerita dari Kemala.

“Oh iya,La. Kalau boleh saya tahu, laki-laki yang tadi manggil kamu itu pacar kamu? Dia masih ngikutin mobil kita. Liat aja di belakang.”

Kemala langsung menoleh ke belakang mobil, ternyata benar Land Cruiser hitam itu masih mengikuti.

“Gila ya tuh orang ngapain sih pake ikut-ikutin mobil ini? Dia bukan pacar saya,Mas. Dia sahabat saya, tapi saya lagi bete sama dia.”

“Ya udahlah, lagian sebentar lagi kita sampai di rumah kamu.”

Begitu Kemala turun dari mobil ditemani Kafka, Aryo langsung menghampiri. Ia meminta maaf bertubi-tubi tanpa mempedulikan Kafka yang ada disamping Kemala.

“La, maafin gue. Jangan marah lagi ya,La.”

Kemala malas menjawab. Sebenarnya ini sudah kesekian kali Aryo melupakan dirinya sebagai sahabat. Aryo terlalu sibuk dengan ambisi-ambisinya, terkadang Aryo sangat baik kepada Kemala, tapi terkadang sikapnya begitu kasar. Mungkin hal itu juga yang menyebabkan Aryo belum memiliki kekasih hingga saat ini.

Kemala terus masuk ke rumah bersama Kafka tanpa mempedulikan Aryo. Kafka setia menemani. Menjaga Kemala takut-takut Aryo berbuat sesuatu yang menyakiti perempuan itu.

“La!!! Jangan masuk dulu,La! Dengerin gue!”

Kemala tetap diam seribu bahasa. Kafka mencoba mendinginkan suasana.

“Maaf, saya mungkin tidak kenal anda. Tapi kalau boleh saya memberi saran, sebaiknya anda datang lagi lain waktu. Sekarang kan sudah larut malam, saya rasa Kemala butuh istirahat.”

Mendengar kata-kata yang diucapkan Kafka, Aryo naik pitam. Emosinya semakin mendidih.

“Heh!! Lu tuh siapa?! Gue yang paling tahu siapa Kemala! Gue temenan ama dia udah tiga taon! Mendingan lu yang pergi. Gue gak suka ada laki-laki macam lu yang deket-deket sama Kemala! Ngerti lu?!1q”

Kemala yang semula hendak menyiapkan minuman untuk Kafka langsung keluar menuju teras untuk menghentikan keributan yang dibuat oleh Kafka dan Aryo.

“Aryo!! Udahlah, lu kenapa sih? Emangnya kenapa kalau gue deket-deket sama Mas Kafka? Salah?! Sahabat macam apa lu? Masa gue gak boleh bergaul sama orang-orang sekitar gue? Tau gak,Yo?! Lu tuh malam ini udah benar-benar keterlaluan. Mas Kafka itu atasan gue. Elu udah berkali-kali giniin gue. Gue bikin kesalahan sedikit aja, lu marahnya minta ampun. Ada cowok yang deket sebentar aja sama gue, lu marah-marah juga.”

Tanpa sadar air mata perlahan menetes di wajah Kemala. Namun ia buru-buru menghapusnya. Ia tidak suka terlihat lemah di hadapan laki-laki.

“Yo, tolong sekarang lu pulang deh. Gue lagi gak pengen berdebat sama lu. Capek!! Gue lagi pengen ketenangan!!”

Aryo tidak mampu berkata apa-apa. Gengsinya begitu tinggi, ia tidak mau menurunkan harga dirinya terus-terusan meminta maaf pada Kemala apalagi di depan umum. Ada Kafka di sana, mengemis-ngemis maaf pada Kemala akan mempermalukan dirinya sebagai laki-laki. Ia pun segera pergi meninggalkan Kemala dan Kafka.

“La, apa sebaiknya saya juga pulang? Gak enak sama orang rumah kamu.”

“Mas Kafka lupa? Saya kan tinggal sendirian. Kalau Mas Kafka gak keberatan, saya pengen Mas tetap nemenin saya di sini.”

Kafka mengangguk paham. Senyumnya begitu menyejukan. Dari sebuah senyuman tipis itu, Kemala merasa begitu tenang. Merasa begitu aman.

“Ya udah,Mas. Masuk dulu yuk, saya buatin teh hangat.”

“La, kenapa kamu tinggal sendirian? Keluarga kamu di luar kota?”

“Gak. Ibu dan ayah saya sudah bercerai. Ibu saya sudah menikah dengan seorang laki-laki dari Jerman dan tinggal bersamanya. Ayah saya.....”

“Ayah kamu kenapa?”

“Mmmm...ayah saya lagi ada urusan. Untuk beberapa waktu beliau tidak bisa menemani saya di rumah. Oh iya, dulu saya juga punya seorang adik. Tapi dia belum lama meninggal karena demam berdarah.”

Kemala terus bercerita sambil membuatkan teh hangat untuk Kafka.

“Oh....maaf ya. Jadi ngingetin kamu sama adik kamu. Hebat juga ya kamu, baru umur 20 tahun, tinggal sendirian, bekerja sendiri, semua-semua sendiri. ”

“Gak gitu juga,Mas. Selama ini ada Aryo yang sering membantu saya.”

Kemala meletakkan cangkir di atas meja. Lalu duduk disamping Kafka.

“La, kalau boleh saya berspekulasi, sepertinya Aryo menyukai kamu. Saya beranggapan begini ketika saya melihat tatapan matanya ke kamu, terlebih lagi emosinya dia sewaktu melihat saya mengantar kamu. Kayak orang lagi dibakar cemburu.”

Kemala hanya tersenyum datar.

“Gak mungkin lah,Mas. Saya sama Aryo udah temenan lama banget. Dari dulu juga sikapnya Aryo begitu-begitu aja ke saya. Sebentar baik, nanti lagi marah-marah. Baik lagi, terus marah lagi. Lagian apa yang salah dengan cara Aryo menatap saya, saya gak tahu tatapan cinta tuh seperti apa....”

Sambil membayangkan wajah Aryo yang sedang menatapnya, mencari tahu apa yang disebut Kafka dengan tatapan cinta tanpa sadar wajah Kafka sudah berada di depan wajahnya.

“Seperti ini.”

Kafka menatap mata itu dalam-dalam. Kemala pun terdiam, tidak kuasa menahan diri diberikan tatapan setajam itu. Wajah mereka begitu dekat, Kemala bahkan mampu merasakan hangatnya udara yang dikeluarkan dari nafas Kafka. Entah apa yang ada dalam pikiran Kafka dan Kemala, bibir mereka seperti magnet yang berbeda kutub. Semakin lama semakin mendekat, merapat dan tak terpisahkan. Mereka berciuman.

Kemala sempat terkejut saat Kafka menciumnya. Entah ini sudah keberapa kalinya ia berciuman dengan seorang lelaki, namun ia tahu ciuman Kafka ini tulus untuknya.

“Mas Kafka....”

“Kemala....”

Kemala terdiam. Ciuman Kafka seolah membuatnya terbang hingga langit ketujuh. Walaupun Kafka sudah berhenti menciumnya, namun rasa itu masih tertinggal di dirinya.

“La, maafin saya. Saya gak bermaksud kurang ajar sama kamu. Entah apa yang mendorong saya untuk mencium kamu. Saya bingung, tadinya saya gak mau bilang ini sekarang. Tapi selama tigapuluhdua tahun dalam hidup saya, belum pernah sekalipun saya dekat dengan seorang wanita. Belum pernah ada seseorang yang terus menerus membayangi pikiran saya setiap menit seperti kamu. Saya juga gak ngerti kenapa bisa gini, padahal kita baru tiga hari kenal. Tapi jika ini yang dinamakan cinta, saya bahagia bisa mencintai perempuan seperti kamu.”

“Mas Kafka....”

Duh, gak nyangka bakal secepat ini. Pucuk dicinta ulam tiba. Seneng banget gue. Tapi kok dia gak minta gue jadi pacarnya sih? Katanya cinta?

“La....”

“Iya,Mas?”

“Kalau kamu gak keberatan, tolong ijinkan saya jadi pacar kamu. Ijinkan saya untuk bisa bersama kamu. Boleh?”

Whoaa...akhirnya!! Mau banget lah gue!

“Tapi,Mas. Masalahnya saya udah beberapa bulan terakhir ini menyukai seseorang.”

“Boleh tahu siapa?”

“Orang ini setiap hari datang ke Kofie Break, memesan minum lalu dia duduk sendiri. Biasanya dia selalu membaca buku atau mengerjakan sesuatu dibalik laptopnya. Dia selalu datang jam setengah enam sore lalu duduk di meja nomor tujuh. Setelah beberapa lama, dia akan pergi meninggalkan selembar seratus ribuan di bawah cangkir. Namanya Kafka Madewa.”

“Kemala...?”

“Saya bersedia jadi pacar Mas Kafka.”

©©©

Untaian Ketiga...

Jika seorang yang kau cinta meninggalkanmu, jangan menangis. Setidaknya dia pernah membuatmu bahagia.

Lembaga Permasyarakatan

Jakarta

11.31 WIB

“Ayah, gimana kabar ayah di sini? Maaf, La baru bisa datang sekarang. La dari kemarin banyak urusan. Ini La buatin kue chiffon kesukaan ayah.”

Kemala sengguh bersedih melihat keadaan ayahnya kini. Tubuhnya yang dulu gemuk, sekarang sudah agak kurusan. Setiap Kemala menjenguk ayahnya, Kemala kerap kali melihat lingkaran hitiam di bawah mata ayahnya. Pasti ayahnya kelelahan dan tidak cukup istirahat. Yah, Mala pasti bakal usaha untuk cari bukti kalau ayah gak bersalah.

“Makasih,La. Ayah baik-baik aja kok. Kamu sendiri gimana? Kerjaan kamu lancar?”

“Lancar,Yah.”

Apa aku harus cerita sama ayah kalau aku sekarang berpacaran dengan Mas Kafka? Sebaiknya nanti saja.

“Ayah, sebenarnya kemarin Aryo sempat nemuin rekaman CCTV yang bisa ngebuktiin kalau ayah gak bersalah, tapi rekaman itu sekarang hancur gara-gara Kemala waktu itu kecopetan, terus keinjak sama copetnya. Tapi Mala yakin, Mala pasti b isa nemuin bukti buat bebasin ayah.”

“La, kalau ayah minta kamu untuk menghentikan pencarian kamu akan bukti tersebut gimana? Ayah emang salah,La. Kamu gak usah repot-repot bebaskan ayah.”

“Tapi,Yah. Kemala yakin ayah gak bersalah.”

“Ayah mohon,La. Gak usah.”

“Terserah ayah! Tapi Kemala tetap yakin kalau ayah gak bersalah dan Kemala pasti akan membuktikan itu kepada semua orang! Kemala pamit,Yah.”

Kemala pergi meninggalkan ayahnya yang tak lama langsung dibawa oleh para petugas kembali ke selnya. Ayah....kenapa ayah ngomong gitu? Kemala sayang banget sama ayah, dan Kemala yakin ayah gak bersalah. Sebnearnya apa yang ayah sembunyiin dari Kemala?

©©©

Ruang ganti karyawan

Mal DioDiosa

14.22 WIB

Kemala sedang mengganti bajunya dengan seragam kasir Kofie Break ketika ponsel di tasnya berbunyi. Telepon dari Mas Kafka.

“Halo,Mas? Saya lagi di ruang ganti karyawan nih. Lagi ganti baju.”

“Maaf,La. Udah selesai belum ganti bajunya? Tadi sekitar jam sepuluhan kok kamu saya telepon ke rumah gak ada yang angkat? Emang kamu pergi dari rumah jam berapa? Shift kamu jam tiga sampai jam sembilan,kan?”

“Oh...itu,Mas...tadi saya pergi ke toko buku dulu.” Maaf saya harus berbohong sama kamu,Mas. Saya belum b isa menceritakan soal ayah ke kamu.

“Ok. Saya sekarang masih di Mulia. Sampai ketemu nanti ya. Love you.

Love you too.

Tanpa Kemala sadari, ternyata dari tadi Renamenguping pembicaraannya dengan Kafka. Rena menepuk bahu Kemala dari belakang.

“Hayo!!! Love you-love youan sama siapa? Pacar baru ya?! Kok gak bilang-bilang gue sih?”

“Mau tauu....aja,Bu. Nanti ya kalau sudah saatnya pasti gue kasih tahu. Tunggu aja tanggal mainnya.”

“Huuu!! Katanya naksir Pak Kafka! Tahu-tahu udah berpaling sama pacar baru sekarang. Payah lu! Ya udah deh Pak Kafka buat gue aja,ok?”

Kemala tak menjawab, ingin membuat Rena semakin penasaran. Setelah mengganti sandal sepatunya dengan sepatu berhak untuk bekerja, ia lalu pergi meninggalkan ruang ganti.

©©©

Kofie Break

17.32 WIB

Kemala sedari tadi sibuk bersms-ria dengan Kafka ketika sedang tidak ada pelanggan. Sebentar-sebentar tersenyum sendiri, tak percaya pada kenyataan kalau pria yang selama berbulan-bulan ia pandangi dari kejauhan kini sudah menjadi miliknya.

Tak lama pintu kaca bertuliskan logo Kofie Break itu terbuka. Lelaki dengan tinggi 185 cm itu memasuki ruangan. Tampil begitu rapi dengan setelan jas abu-abu pinstripe dan dasi hitam, ia berjalan menuju meja nomor 7. Namun sebelumnya ia mampir dulu ke kasir, memberikan senyuman sayang pada sang kekasih.

“La!! Kok Pak Kafka senyum-senyum sama lu gitu sih?”

“Kan udah gue bilang sama lu, tunggu tanggal mainnya ok?”

“Sialan lu ah!!”

Kofie Break

18.42 WIB

Kemala tetap setia memandangi lelaki itu. Namun sudah tak sesering dulu karena yang penting kini ia tahu, Kafka sudah menjadi miliknya. Kapanpun ia ingin memandang wajah Kafka, ia mampu melakukannya. Sudah tidak seperti dulu, kini beberapa kali ketika Kemala memandang lelaki itu, ia menangkap mata si lelaki juga memandanginya. Betapa hidup menjadi penuh warna ketika orang yang dicintai sudah berada dalam genggaman.

Tidak lama lelaki itu bangkit dari sofa tempatnya duduk. Pergi berjalan menuju kasir. Kala itu Kemala sedang melayani pelanggan lain sementara kasir bagian Rena sedang kosong pelanggan. Semestinya Kafka bisa membayar pada Rena, namun cinta mengubah segalanya. Kafka, yang selalu menganggap waktu adalah uang rela mengantri dan menunggu Kemala selesai melayani pelanggan itu karena inginnya dilayani langsung oleh sang kekasih.

“Semuanya jadi empat puluh empat ribu dua ratus.”

Kafka memberikan selembar limapuluhribuan. Lalu tersenyum pada Kemala.

“Nanti malam saya antar kamu pulang ya. Saya ke atas dulu.”

Kafka lalu pergi begitu saja.

“Mas Kafka! Kembaliannya belum.”

Kafka hanya tersenyum lalu keluardari pintu.

“Kemala!!! Jangan bilang kalau tadi siang itu elu love you-love you’an sama Pak Kafka??!”

“Emang kenapa? Bukannya bagus? Pucuk dicinta ulam tiba,kan?”

Rena yang tidak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya barusan hanya bengong-bengong dan tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya ia menjitak kepala Kemala.

“Sinting lu!! Bisa aja dapetin Pak Kafka!!”

“Kalau gue gak bisa dapetin Pak Kafka, nama gue bukan Kemala!!”

©©©

Dicintai dan mencintai adalah anugerah. Siapapun kamu, yang kini sedang mencinta, berbahagialah.

Mobil Kafka

22.15 WIB

Dengan tangan kanan memegang kemudi dan tangan kiri menggenggam tangan Kemala, Kafka mengantar Kemala pulang. Setelah mempunyai Kemal asebagai pacar, Pak Tresno dibebaskan dari tugas mengantar Kafka pulang.

“La, emang awalnya kamu bisa kerja di Kofie Break gimana sih?”

“Seperti yang udah bilang ke Mas dulu, saya tadinya tuh mau kuliha Cuma gak ada biaya. Terus Aryo kan waktu itu udah kerja, dia bilang dia bakal nyariin saya kerjaan, eh tau-tau dapetnya di Kofie Break. Ya udah jadi saya kerja di sana.”

“Oh gitu? Oh ya, kamu sama Aryo gimana setelah kejadian malam itu? Udah baikan lagi?”

“Aryo sih udah beberapa kali sms saya minta-minta maaf. Sebenarnya saya sih gak pernah benar-benar marah sama dia, Cuma aja sikapnya itu menurut saya terlalu kekanak-kanakan. Dia udah sering banget kayak gitu. Kalau saatnya baik, dia tuh baik banget, tapi kalau jeleknya udah keluar, dia kayak anak kecil. Egois, marah-marah mulu.”

Kafka memindahkan tangan kiri yang sejak tadi menggenggam tangan Kemala ke kepala gadis itu, mengacak-acak rambut Kemala yang hanya sebahu.

“Emangnya kamu udah gede pake bilang-bilang Aryo kayak anak kecil? Buat saya kamu tuh masih kecil banget tau.”

“Terus kalau anak kecil kenapa dipacarin?”

“Terserah saya mau pacaran sama siapa. Kamu kenapa juga mau pacaran sama saya? Laki-laki yang jelas-jelas duabelas tahun lebih tua dari kamu?”

“Gak ada alasan untuk mencintai seseorang,Mas.”

Kafka meraih bahu gadis itu dengan lengan kirinya. Menyandarkan Kemala pada bahunya, merangkul gadis itu seolah tak ingin dilepaskannya lagi. Kemala, ku melihat sesosok malaikat terbelenggu dalam ragamu. Betapa beruntungnya aku memiliki malaikat seindah dirimu.

©©©


Untaian Keempat...

Kejujuran adalah emas permata, jangan kau menodai dirimu dengan kebohongan. Semakin banyak kebohongan yang kau buat, emas permata itu kan semakin pudar.

Ruang Kerja Kafka

08.15 WIB

Kafka pagi ini datang lima belas menit lebih awal. Asistennya, Andro sudah datang sejak pukul 07.30 lalu.

“Pagi,Pak Kafka. Ini koran hari ini. Oh iya, kemarin saya lupa memberitahu bapak, E.O yang kemarin katanya ingin menggunakan mal kita lagi untuk mengadakan acara.”

“Ok, gak masalah. Tinggal nego masalah harga dan waktunya aja,kan? Oh ya, gimana penyelidikan kamu tentang masalah yang saya suruh kemarin?”

“Belum ada perkembangan bagus,Pak. Tapi kami masih mengusahakan yang terbaik.”

“Ok. Jangan lupa kabari saya kalau kamu udah menemukan sesuatu.”

Setelah Andro pergi meninggalkan ruangannya, Kafka segera mengambil ponselnya dan menghubungi Kemala.

“Halo,La? Lagi di mana kamu?”

Suara diseberang sana menjawab dengan lembut.

“Masih di rumah,Mas. Ada apa? Mas udah di kantor?”

“Udah. La, kamu mau gak hari ini gak usah kerja?”

“Lho? Kenapa,Mas?”

“Malam ini ada teman saya yang menikah, saya mau pergi ke pestanya. Daripada saya datang sendirian terus saya juga gak bisa antar kamu pulang, lebih baik kamu ikut saya aja, gimana?”

“Duh... Mas kenapa gak bilang dari kemarin? Kalau bilang kan saya bisa ganti shift pagi hari ini.”

“Ayolah,sayang. Sekali ini aja, masa kamu tega saya datang sendirian ke sana? Nanti saya digodain sama prempuan-perempuan cantik gimana?”

Baru kali ini Mas Kafka manggil gue dengan sebutan ‘sayang’. Ada aja caranya buat ngerayu gue. Wanita mana yang bisa nolak ajakan lelaki seperti dia?

“Ya udah deh. Demi Mas Kafka, nanti saya bilang ke Pak Bayu saya gak bisa masuk kerja hari ini.”

“Beneran,La? Nanti jam enam saya jemput kamu ya?”

“Ok.”

©©©

Kenanga Ballroom

Hotel Meidian

21.47 WIB

Acara yang mengenakan adat Jawa itu sudah hampir selesai. Malam itu Kemala tampil anggun dengan mengenakan kebaya putih dan kain batik yang didesainnya sendiri ketika ia pergi ke tukang batik dalam liburannya di Yogyakarta. Kecantikan Kemala sungguh sepadan dengan ketampanan Kafka malam itu yang memakai batik berwarna hijau rancangan desainer ternama.

Pasangan Kafka dan Kemala membuat iri sejumlah undangan, baik yang pria maupun wanita. Yang wanita iri karena tidak secantik Kemala, yang pria iri pada Kafka karena menggandeng wanita secantik Kemala. Mereka nampak bak dewa dan dewi khayangan. Sesuai dengan nama mereka. Kemala Dewi dan Kafka Madewa.

Kedua mempelai, Dodo dan Anita menghampiri setiap undangan untuk mengucapkan terima kasih. Anita adalah sahabat lama Kafka ketika kuliah di Chicago dulu.

“Kafka!! Gile lu, dateng ama siapa nih? Cantik bener. Kok gue baru liat sih?” Ujar Anita ketika menghampiri Kafka dan Kemala.

“Bisa aja lu,Ta. Kenalin ini cewek gue, namanya Kemala.”

Kemala hanya tersenyum manis pada Anita. Anita membalas senyuman itu tak kalah manis.

Dodo menyentuh bahu Kafka.

“Wah,bentar lagi lu nyusul gue dong ya? Buruan,Kaf! Umur tuh umur!”

Kafka hanya tertawa mendengar ucapan Dodo. Padahal sebenarnya dalam hati ia ingin segera menyusul Anita dan Dodo, namun rasanya konyol jika sudah membicarakan pernikahan dengan Kemala padahal hubungan cinta mereka baru berjalan satu minggu.

“Ah elu,Do. Thanks yah udah ngundang gue. Tapi, kayaknya gue kudu buru-buru pulang nih, kasian nanti Kemala pulang kemalaman. Ok?”

“Ok,bro! Nyantai aja. Thanks ya!!”

©©©

Rumah Kemala

23.06 WIB

Betapa terkejutnya Kemala ketika mendapati Aryo menunggunya di teras rumah. Memang ketika pergi tadi ia tidak mengunci pagar, hanya mengunci pintu rumah saja.

“Aryo?”

Aryo pun tak kalah terkejut melihat Kemala pulang bersama Kafka. Terlebih lagi ketika ia melihat Kemala dan Kafka mengenakan pakaian tradisional seperti itu.

“La? Elu darimana?”

“Temennya Mas Kafka nikah, kita berdua baru dari pestanya.”

Aryo segera bangkit dari kursi. Menatap Kafka penuh amarah.

“Temennya Kafka yang bikin pesta, kenapa elu harus ikut-ikutan segala? Jangan-jangan lu punya hubungan macem-macem sama Kafka ya?”

Melihat Aryo yang terbakar amarah, Kafka mencoba menenangkan suasana. Namun Kafka gagal.

“Maaf, sekarang Kemala sudah jadi pacar saya. Jadi wajar kalau dia menemani saya malam ini. Saya tahu kamu sahabatnya, tapi tolong jangan marah-marahin dia. Kalau kamu mau marah silahkan marahin saya. Lagipula apa setiap Kemala mau pergi harus pamit dulu sama kamu?”

Emosi Aryo semakin menjadi. Ia mendorong tubuh Kafka. Memang, jika dibandingkan dengan Kafka, Aryo yang hanya 176cm itu tidak ada apa-apanya.

“Elo jangan mentang-mentang udah jadi pacarnya terus elo berhak nasehatin gue seenaknya. Dasar cowok sialan!! Lagian apa cowok setua elo pantes jadi pacarnya Kemala?! Elo lebih pantes jadi om-nya! Dasar pedofil!!”

Mendengar kata-kata Aryo yang sudah kelewat batas itu, gantian Kemala yang mendorong tubuh Aryo keras-keras hingga tubuhnya jatuh ke kursi.

“Yo!! Elu tuh kenapa sih?! Jaga mulut lu! Lagian gue punya hak untuk memilih lelaki mana yang pantas jadi cowok gue, kenapa lu harus repot sih?”

“Karena gue cinta sama lo!! Selama ini emang gue ngebantuin lu karena apa? Ngebantuin lu dapet kerjaan, nyariin bukti buat ngebebasin ayah lu?! Emang karena apa?! Karena gue cinta sama lu!!”

Aryo lalu pergi meninggalkan Kemala dan Kafka. Tinggal Kemala yang kini menangis di dada Kafka.

“Udah,La. Mending sekarang kamu ke dalam, terus kamu istirahat ya.”

Kafka menemani Kemala yang terus menangis di dadanya hingga Kemala terlelap. Ia membawa Kemala ke kamarnya lalu membiarkan Kemala tidur di sana. Kafka sendiri tidak pulang malam , ia tidur di sofa ruang tamu. Ia takut terjadi apa-apa dengan Kemala.

©©©

Kejujuran adalah emas permata, jangan kau menodai dirimu dengan kebohongan. Semakin banyak kebohongan yang kau buat, emas permata itu kan semakin pudar.

Rumah Kemala

07.05 WIB

Kemala sudah bangun sejak satu jam lalu. Ia terbiasa bangun pagi. Ia menyiapkan segelas susu hangat untuk Kafka yang masih tertidur, dan tidak lupa menyiapkan makanan yang akan dibawanya ketika ia menjenguk ayahnya nanti.

“Mas....”

Kemala membelai lembut pipi pria itu. Namun, Kafka tetap saja terlelap. Kasian, pasti Mas Kafka capek banget. Pake acara tidur di sofa lagi, padahal gak usah nginap di sini juga kan gak apa-apa. Sekali lagi, Kemala mencoba membangunkan Kafka.

“Mas Kafka, udah pagi Mas...”

Perlahan Kafka pun membuka kedua matanya. Tubuhnya masih lemas, matanya juga masih berat sekali.

“Eh,La. Udah bangun kamu? Maaf ya saya tidur di sini, habisnya tadi malam mau pulang takut kamu sendirian nanti kenapa-napa.”

Kemala tersenyum manis, dalam hati ia bersyukur karena mendapatkan kekasih sebaik Kafka.

“Ya ampun,Mas. Saya juga kan setiap hari tinggal sendiri. Saya gak kenapa-napa kok. Mendingan sekarang Mas Kafka cuci muka, terus gosok gigi. Nanti saya ambilin stok sikat gigi baru di kamar mandi buat Mas. Setelah itu Mas bisa sarapan di sini. Jadi nanti Mas tinggal pulang untuk mandi dan ganti baju terus berangkat ke kantor. Ok?”

Kafka mengacak-acak rambut Kemala dan mencubit pipinya gemas.

“Duh...kamu!! Baru jadi pacar aja udah kayak gini, gimana jadi istri ya? Sayang kamu masih kecil!! Hehehe...”

Kemala segera melepas kedua tangan Kafka yang tak henti-henti mencubit pipinya dan gantian mencubit kedua pipi Kafka.

“Iiihhh...! Dasar Om-om!! Pikirannya kawin melulu, nanti gak saya kasih sarapan baru tau!”

©©©

Kafka sudah pulang ke rumahnya, jam masih menunjukan pukul delapan pagi. Kemala berencana untuk tidur sebentar sebelum menjenguk ayahnya nanti. Namun niat untuk tidur itu batal begitu melihat di handphone-nya ada 19 missed calls dari Aryo. Hanya missed calls, tak ada satu pun sms. Kemala memutuskan untuk menghubungi Aryo.

“Halo,Yo...”

“La, semalam gue_”

“Nanti aja ngomonginnya,Yo. Kita ketemuan pas jam makan siang di aja di Kafe ‘Rumah Kita’ ya?”

“Ok.”

©©©

Kafe ‘Rumah Kita’

12.45 WIB

Ketika Kemala sampai ternyata Aryo sudah menunggu.

“Hai,Yo! Sorry telat, gue abis jenguk bokap gue. Udah lama?”

Hari ini penampilan Aryo agak berbeda. Biasanya ia selalu memakai kemeja yang lengannya digulung hingga ke siku, kancing kemejanya semua terbuka, di dalamnya Aryo mengenakan kaos casual. Tidak lupa topi yang menutupi rambut keriwilnya. Namun kali ini, kemejanya rapi, lengkap dengan dasi. Memang tidak disertai luaran jas, tapi tetap saja ia tampak berbeda. Rambut keriwilnya kini botak plontos.

“Gak kok. Nyantai aja. Gue udah pesenin lu iced chocolate sama french fries.”

“Ngomong-ngomong, penampilan lu hari ini kok beda banget,Yo? Pake acara dibotakin segala lagi. Hahaha...”

“Iseng aja. Buang sial. Hehehe, akhir-akhir ini klien gue pada kabur semua. Gak tau kenapa.”

“Yo, masalah tadi malam....gue minta maaf yah, gue beneran gak tau kalau selama ini lu punya perasaan lebih ke gue, gue harap lu gak botakin kepala lu gara-gara sakit hati ama gue ya. Hehehe..”

“Gak sebegitunya juga kali,Non. Oh iya, tadi pagi gue nengokin ayah lu. Katanya dia mau kita berhenti buat nyari bukti untuk ngebebasin dia,La. Gue juga gak tau kenapa.”

“Kok ayah gak bilang kalau lu dateng? Gue juga kan baru dari sono, tapi dia juga bilang sih untuk berhenti nyari bukti. Gue heran, selama 19 tahun gue kenal sama ayah gue, dia gak pernah buat keputusan konyol kayak gini.”

Seorang perempuan mengenakan pakaian hitam-hitam dengan lambang Kafe ‘Rumah Kita’ di baju datang. Ia mengantarkan pesanan.

“Makasih ya,Mbak.”

Setelah pelayan itu pergi, mereka kembali melanjutkan pembicaraan.

“Yo, lu kok tumben sih mesennya kentang goreng? Kayak gak tau aja gue ni h paling gak bisa kalau gak makan nasi pas jam makan siang.”

“Sekali-sekali lah. Biar lu gak tambah gendut! Hehehe....La, tapi biar gimana juga elu harus hargain keputusan bokap lu. Kalau emang ternyata dia punya alasan yang kuat untuk itu, kenapa enggak?”

“Kalau gak punya?! Lagian alasan seperti apa yang membuat seseorang rela dihukum mati karena kesalahan yang enggak dia buat?”

Kemala semakin tidak memahami ayahnya, juga jalan pikiran Aryo yang kini mendukung ayahnya.

“Tadi waktu gue tanya ayah lu tentang alasan dia, tau dia jawab apa?”

Kemala menaikkan kedua alisnya, tak sabar ingin tahu apa jawaban yang diberikan ayahnya pada Aryo.

“Katanya gini : ‘Nak Aryo, kalau kamu ada di posisi saya, kamu juga pasti akan melakukan hal yang sama.’ Berarti beliau udah pasti punya alasan yang pasti untuk itu kan?”

Kemala tidak ingin lagi berbicara, ia segera melahap semua kentang goreng yang tersedia di meja, menghabiskan iced chocolate­-nya dan segera pergi ke tempat kerjanya.

“Yo, udah yuk! Gue harus kerja nih.”

©©©


written at♥14:26