Kamu tahu? Semalam aku memimpikanmu.
Aku tidak akan bercerita panjang lebar tentang mimpiku kali ini. Mimpi ini jauh lebih panjang dari mimpi-mimpi lainnya.
Namun, dalam mimpiku itu. Kamu bilang Aku membenci Kamu.
Katanya sikapku memuakkanmu. Ya, jujur saja. Aku memang sudah muak denganmu. Bayangkan betapa perasaan ini bermetamorfosa begitu cepat.
Rasa sayang beberapa bulan lalu, dengan cepat berubah menjadi cinta ketika sudah melibatkan air mata. Lalu cinta itu menangis lebih dalam lagi, hingga terluka lalu kadarnya berkurang menjadi rasa sayang. Tetapi sikapmu kian hari kian kekanak-kanakan. Kian bodoh.
Siapa yang tahan melihat orang bodoh yang tidak MAU pintar. Camkan itu! Tidak MAU, bukan tidak BISA.
Kini sayang yang belum lama bertahta, berubah menjadi rasa muak. Malas.
Aku heran.
Mengapa dulu aku jatuh cinta padamu? Bodohkah aku?
Tetapi. Terima kasih. Sudah memberi warna dalam hidupku. Dari merah muda, jingga hingga hitam kelabu. Takkan pernah membentuk sekumpulan warna pelangi, karena Kamu selalu memberikanku hujan. Tiada pernah mereda.
Maka, biarkan hujan. Yang menghapus semua luka, supaya yang tersisa tinggal kenangan indah berdua. Karena aku, aku sungguh tidak mau membenci (lagi).
Baru pulang dari melayat tetangga jauh yang meninggal. Rumahnya dibelakang gang rumahku. Aku dan papa menembus jalanan komplek yang gelap dan dihiasi genangan air sana sini. Hujan besar baru mereda. Aku pergi ketika hujan sudah berubah rintik.
Sampai disana, aku dan papa yang tidak terlalu mengenal keluarga Ibu Agustine (hanya tahu sekedar nama dan obrolan para tetangga) tampak seperti orang bingung karena misa sudah dimulai. Aku pun baru tahu kalau ibu ini seorang katolik taat, dan istri dari seorang TNI. Ibu ini usianya 61 tahun, sama dengan papa. Meninggal tadi sore sebelum maghrib, katanya karena sakit yang sudah lama diderita. Sakit apa? Aku tidak tahu.
Aku dan papa yang memang jarang bersosialisasi dengan tetangga, apalagi tetangga jauh seperti itu jadi merasa asing. Takut-takut, para pelayat mengira kami berdua pelayat nyasar. Tapi yang membekas di benakku bukan soal keterasingan ini, tapi isi khotbah yang diberikan oleh sang pastur.
Tidak ada khotbah panjang lebar, hanya memohonkan ketabahan dan keikhlasan. Pastur ini juga lalu bercerita, bagaimana hebatnya Ibu Agustine semasa hidupnya. Jujur, setiap datang melayat aku akan mengingat suasana empat tahun lalu ketika mama meninggal. Ada perasaan sedih yang menyelinap dalam pikiran, dan juga pengertian akan kehilangan yang mendalam.
Lalu, pastur ini berkata bahwa kita sebagai manusia akan dipanggil Tuhan kapan saja. Jika orang mudik akan rela berdesak-desakan. Rela menghabiskan uang tabungan setahun untuk menghadap keluarga di kampung halaman, lalu apa bekal kita untuk menghadap Tuhan? Sudah adakah tabungan kita?
Bagi yang umat katolik, katanya jangan mengaku dosa ketika rambut sudah putih. Tuhan akan memanggil siapapun, kapanpun, sesuai kehendakNya. Bagi agama lain? Aku percaya sudah ada aturan mainnya sendiri. Lalu bagi yang agnostik atau atheis bagaimana? Itu urusan mereka.
Berhubung aku ini suka mengkhayal ini itu, ketika mendengar pernyataan pastur mengenai kematian ada rasa sedih jika membayangkan orang-orang dicinta pergi meninggalkanku untuk selamanya. Juga sedih membayangkan jika aku yang lebih dulu mati meninggalkan mereka.
Lalu, jika aku mati. Akankah yang melayat akan sebanyak ini? Akankah ada yang peduli? Meluangkan waktu hanya sekedar melihatku terakhir kali? Entahlah.
Siapapun tak akan ada yang tahu kapan dan dimana akan mati. Seorang temanku seringkali berkata, “Tidur pulas diranjang aja bisa mati.”
So, aku rasa memang takkan ada habisnya bicara beginian. Tapi satu pesanku, bertingkahlah lebih baik dalam hidupmu, supaya ketika mati nanti, setidaknya ada orang yang menangis untukmu walau hanya satu.
Cerita dibuka dengan pameran patung Maternal Moods,patung-patung ibu mengandung dalam berbagai pose. Gambir (Fachri Albar) menuai pujian dari rekan-rekan dan kurator. Talyda (Marsha Timothy),tampil sebagai sosok istri luar biasa. Mengutip kata-kata "Selalu ada wanita hebat dibalik kesuksesan pria."
Sosok Talyda tampil sempurna mewujudkan kalimat itu menjadi nyata. Namun penonton dikejutkan dengan hadirnya cuplikan seorang anak kecil yang terlempar diatas meja makan. Kehidupan Gambir dan Talyda digambarkan begitu misterius dengan latar pencahayaan pas-pasan,redup disana remang disini.
Alur cerita tidak teratur,loncat sana sini. Gambir yang di rumah,Gambir yang di studio,di jalan. Kecenderungan Joko Anwar yang tidak menjelaskan setting cerita di setiap film nya,dengan harapan penonton akan menganggap setting berada di negeri berantah cukup berhasil ditampilkan di film ini.
Dalam novelnya sendiri,sang penulis Sekar Ayu Asmara memadu tiga sudut pandang yang berujung pada satu cerita. Yang pertama adalah cerita seorang anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan orang tuanya. Cerita kedua adalah cerita sentral dalam film , kehidupan Gambir dan Talyda. Cerita yang ketiga, adalah Ranti seorang reporter yang meliput seorang laki-laki yang sakit jiwa karena trauma masa kecil.
Keberadaan Herosase,tempat hiburan orang-orang yang isinya tontonan video-video candid tentang kegilaan manusia mampu menampilkan benang merah cerita yang semula tampak sulit diwujudkan dalam film.
Namun film yang menyajikan banyak adegan-adegan sadis berdarah ini menghilangkan esensi dari yang ingin di sampaikan novel buatan Sekar Ayu Asmara,bahwa seorang anak adalah kuncup yang harus disirami dengan kasih sayang supaya tumbuh dengan baik. Esensi penting itu hilang dengan alur yang berantakan dan darah yang bersimbah di film ini.
Keberadaan Herosase merupakan ide yang kreatif,namun adegan terakhir dengan Gambir di gereja yang berperan sebagai romo tanpa penjelasan seperti yang tertulis didalam novel,akan membuat penonton semakin bertanya-tanya. Saran saya,resapi dulu novelnya,lalu hayati film nya. Mungkin dengan begitu,Anda akan menemukan Pintu Terlarang dalam diri Anda sendiri.
Berhubung aku ini orangnya jika tidur akan selalu bermimpi, maka ijinkan aku menceritakan mimpiku tadi malam. Eh salah, bukan tadi malam. Aku terbangun jam 3 pagi, membangunkannya lalu tertidur lagi. Mimpi ini mulai dari jam 3 itu, hingga aku bangun lagi jam 10.00. Oke, jadi begini ceritanya.
Di ruangan SMA aku berkumpul dengan teman-temanku. Aku duduk di barisan paling depan. Kedua dari ujung kiri. Bentuk tempat duduknya seperti bangku-bangku di tempat kursus, yang menjadi satu dengan meja. Dalam ruangan itu, aku terlihat akrab dengan geng –ku ketika aku SD dan SMP.
Disamping kananku ada Jessica Wahyuni. Teman dekatku sewaktu SD, jarak kami semakin menjauh ketika aku mulai berpacaran sewaktu SMP. Dibelakangku ada Adinda, dan disamping Dinda ada Cinthya yang duduk persis dibelakang Jessica.
Sedikit bercerita, hubunganku dengan Dinda pun sekarang hanya sebatas kenal saja. Pertemanan kami merenggang, setelah Dinda ‘secara tidak langsung’ merebut pacarnya Cinthya semasa SMP dulu. Sedangkan aku dan Cinthya? Kami masih bersahabat hingga sekarang, dia teman sekamarku ditempat kos-kosan.
Kami berempat tampak tertawa, bercanda, dan mengejek satu sama lain. Seperti teman lama yang sudah lama tak berjumpa. Wajah Jessica, dewasa seperti keadaannya sekarang sebagai mahasiswi kedokteran gigi di Trisakti. Cinthya, rambutnya hitam. Sama ketika ia SMA. Kami berempat mengenakan seragam SMA. Namun, lucunya Adinda dengan seragam SMA tetapi dengan dandanan yang sama ketikia dia SD. Potongan rambutnya, tasnya. Ia mengenakan tasnya ketika SD. Yang aku ingat tasnya itu warna dasarnya hitam, dan ada campuran warna hijau tosca entah sebelah mana. Namanya juga mimpi. J
Ketika sedang berbincang bersama, aku sungguh tidak menyadari siapa-siapa saja yang ada dibelakang kami. Siapalagi yang berada dikelas itu, aku tidak ingat. Tak lama guru olahragaku sewaktu SMA, Pak Endri datang. Mengenakan setelan training berwarna merah. Ia memberikan pengumuman kalau kelas sudah dibubarkan. Lalu Jessica berkata, “Kita jalan-jalan yuk? Ke mall. Kan udah lama gak jalan bareng.”
“Hahaha..boleh-boleh,” jawabku.
“Yaah..tapi cowok gue mau datang,” kata Cinthya.
Dinda hanya diam saja. Memperhatikan kami berbicara.
“Ya udah, ga jadi aja deh. Cin, si Frank bawa mobil kan? Anterin ampe lapangan atuh, dari situ kan gue naik angkotnya gampang. Iya ga?” tanyaku pada Jessica dan Dinda yang memang satu arah pulang denganku.
*tapi aku bingung, lapangan apa ya?hihihi. dasar mimpi*
Sebelum pulang, Pak Endri membagikan hasil tes. Entah tes apa. Semacam hasil praktikum Biologi. Pokoknya nilaiku berempat bagus-bagus. Lalu datang seorang siswa menuju ke arahku, rambutnya agak berantakan. Ia mengenakan celana abu-abu tetapi tidak memakai kemeja. Atasnya kaos hitam bergaris putih.
“Chez, gw nitip tas gue dong. Lo bawa pulang yah, besok lo bawa lagi?”
“Hah? Gila lo!”
Tetapi siswa itu lalu pergi meninggalkanku. Dan anehnya, aku nurut-nurut saja membawakan tasnya. Tasnya berbentuk tas punggung, hanya ada satu retsleting besar dan sebuah kantong kecil didepannya. Warnanya didominasi oleh abu-abu, tetapi ada garis hitamnya. Aku membuka tasnya, memasukan tasku yang ternyata cukup didalam tas itu dan mengeluarkan uang sebanyak tujuh ribu rupiah untuk ongkos pulang. Tiga ribu untuk angkot, empat ribunya lagi untuk ojek.
Lalu, akhirnya kami berempat menaiki sebuah mobil SUV hijau tua milik Frank, entah apa mereknya. Seperti kataku, Frank kekasih Cinthya (dalam mimpi dan dalam kehidupan nyata J) membawa mobil menuju lapangan. Tetapi ia memutar jauh sekali. Hingga akhirnya sampai ia ke sebuah tempat dan aku, Jessica, Dinda dimintanya untuk turun dari mobil.
Akulah orang yang paling terkejut.
“Hah? Gila ini lapangan apa?! Ini mah tambah ngejauhin dari rumah gw. Rese’ lo ah!!”
Ternyata ditempat itu Cinthya mau pergi makan dengan Frank. Dinda dan Jessica lebih memilih ikut mereka berdua, sedangkan aku lebih memilih pulang.
Jika biasanya aku dari sekolah ke rumah menempuh satu jam perjalanan menggunakan angkutan umum nomor 08, kali ini aku terdampar entah di mana. Dalam mimpiku, daerah ini mirip daerah Pajajaran-Bogor. Aku seperti orang bingung, aku bertanya pada seoran abang-abang berwajah agak seram, kulitnya hitam terbakar matahari. Ia mengenakan singlet putih dan celana panjang khaki.
“Bang, nemu angkot 08 dimana ya? Atau ke Jambu?”
Jambu maksudnya Jambu Dua, tempat angkot 08 biasa mangkal.
“Nih neng, naik ini!”
Yang aku lihat, angkutan itu nomornya 230. Gile, sejak kapan ada angkot panjang gini angkanya ampe tiga digit? Ah, gue kan udah lama gak ke Bogor mana tau ini angkot baru.
Aku merelakan dua ribu ongkos yang kusiapkan tadi untuk ongkos angkot tambahan ini. Lalu supir angkot yang judes itu memintaku turun di depan sebuah gang sempit. Katanya, gang itu merupakan jalan tembusan menuju daerah Jambu Dua.
Ketika aku sampai diujung gang, tahu apa yang kutemukan? Sebuah sungai yang tidak terlalu besar, tetapi arusnya deras dan tidak ada jembatan. Buntu. Tetapi memang diseberang sungai itu sudah daerah Jambu Dua. Awalnya aku sendirian, cuaca pun sudah agak mendung. Lalu seorang bapak mengenakan baju safari abu-abu tua datang, dan hap! Dengan mudahnya ia menyebrangi sungai itu hanya dengan sekali loncatan.
Nih si bapak kakinya lebih pendek dari gue, kayaknya kalau gue loncat juga bisa. Begitu pikirku. Tetapi aku takut. Takut terjatuh lalu hanyut. Aku kan tidak bisa berenang.
Lalu datang lagi seorang ibu, berkemeja putih dengan celana panjang hitam. Rambutnya bergelombang sebahu dicat cokelat keemasan. Ia juga hanya berdiri mematung. Tidak berani menyeberang. Hingga akhirnya orang berdatangan semakin banyak, tapi wanita semua.
Beberapa ibu muda pergi ke samping kiri sungai yang aliran airnya lebih dangkal, dan berjalan ramai-ramai. Aku tetap tidak berani mencoba. Lalu, bala bantuan datang. Beberapa laki-laki muda, membentangkan sepasang tali dari seberang sungai dan meminta kami untuk berjalan di atas tali itu sambil berpegangan pada tali yang satu lagi.
Semua orang sudah berada diseberang, hujan mulai turun agak gerimis. Tetapi aku, bukannya ikut menyeberang malah menangis sendirian. Orang-orang itu meneriakiku,
“Ayo neng!!! Cepetan! Nggeus ujan!!”
Dengan memaksakan diri, sambil menangis dan kedinginan karena hujan aku pun menyeberang sendirian. Namun sesampainya di seberang, aku tidak menemukan angkot 08 yang biasa kunaiki. Lalu aku bertanya lagi pada orang.
“Bang, angkot ke Cibinong yang mana ya? Kok 08 na euwueh ‘nya?” (Kok 08 nya tidak ada ya?)
Lalu, aku disuruh naik angkot 245. Nah lho? Tiga digit lagi. Aku naik bersama ibu-ibu yang menyeberang tadi. Tampaknya tujuan mereka sama denganku. Namun setelah semakin jauh, jauh, dan jauh rasanya kok tempat ini tidak asing? Rasa-rasanya kok aku sudah pernah lewat, kayaknya bukan ke Cibinong.
Benar saja!! Angkot ini membawaku kembali ke tempat di mana Frank dan yang lainnya menurunkan aku! Ibu-ibu tadi geram, lalu memaksa sopir angkot kembali ke tempat tadi dan memukuli si abang yang kutanyai karena telah berbohong. Aku lupa kejadian setelah itu. Yang kuingat abang itu lalu jatuh ke dalam sungai dan aku mengingat ibu-ibu itu lalu pergi. Aku? Aku diam saja di samping sungai. Dan aku pun terbangun.
Huh! Dasar mimpi.
Akhir-akhir ini gw lebih banyak error nya daripada benernya. Whaiii? Coba tell me why? Gw aja gak tau gimana kalian? Hufh…pas hari kapan gitu, gw marah-marah muluuuu. Kalo di kartun-kartun, maybe kepala gw hari itu sepanjang scene warnanya merah menyala-nyala. Siap membakar—menghanguskan siapapun yang ada dekat gw. Sialnya, seharian itu yang deket ma gw ya my lovely daddy. Jadilah daddy tercinta ini kena omelan gw. Sumpeh, dosa banget gw!
Dengan rutinitas aneh sepanjang liburan, maybe ini bikin kerja otak gw jadi aneh juga.
Tiap mau bikin tugas individu soskom, virus malas langsung menyergap. Apalagi semua buku ditinggal di kosan. TOLOL! Tugas yang lain bagaimana? Tugas yang lain kebanyakan kelompok..jadilah gw autis, berteman dengan internet saja. Mencari bahan ini, bahan itu.
Liburan ini gw…go shopping with daddy..
Sisanya? Di rumah. That’s all. Mau ketemuan sama teman-teman lama udah pada masuk kuliah semua. L
Lagian mau pergi-pergi juga malas sekalii entah kenapa. Coba tell me why?
Hubungan dengan Dia agak membaik. Cuma ada tambahan rutinitas yang ga enak. Tiap hari, bangunin Dia jam 3 pagi. Hanya untuk kepentingan yang gw dan Dia aja yang tahu.
Tapi akhir-akhir ini Dia lagi jutek. Entahlah. Gw juga malas menanggapi. I became more emotional these days. Is it close to my period? Ummmm,,maybe yes..maybe no. Don’t know.
Oh iya! Liburan ini juga gw lagi addicted banget sama belly dance. It feels so sexy when u moved your hip. Belly dance keliatannya gampang, bo. Tapi susahh..ampuun dah. Kenapa gw suka belly dance? Hmm, selain keliatannya gampang ternyata susah *and it challenged me*, belly dance itu tarian yang harus dilakukan bare foot. Dan dari dulu gw emang suka banget nari bertelanjang kaki. Kalo hip hop or modern dance kan umumnya pake sepatu sport gitu, beda laah feel nya.
Apa lagi yaa? Hmmmph. Oh iya, sebenarnya agak sedih juga sih. Melihat Kamu yang lagi bimbang. Terombang ambing oleh pikiran tentangnya. Aku sayang Kamu, now as a bestfriend. Dan aku mauyang terbaik buat Kamu. Silakan cari perempuan lain. Kita berdua sama-sama tahu, she’s not good for you cause deep down her heart she doesn’t even care about you.
Aku akan rela jika Kamu mencintai perempuan lain. Tapi jangan Ia. And I’m sure, Kamu akan menemukan yang lain. Yang lebih baik dari Ia.
Hmmm,,berantakan gini yah? Gak apa-apalah. Yang pasti semua uneg-uneg, semua yang ga enak, semua yang dipendam di hati nih..udah selesai. Beres. Done.
Forever yours,
Chrestella.
" Hati tidak pernah memilih. Hati dipilih. Jadi, kalau Keenan bilang, Keenan telah memilih saya, selamanya Keenan tidak akan pernah tulus mencintai saya. Karena hati tidak perlu memilih. Ia selalu tau kemana harus berlabuh," Luhde menggenggam tangan Keenan sejenak, "yang Keenan cari bukan di sini."
Dan, memang hati Kamu, tidak dipilihkan untukku.
Ada lagi, masih dari buku yang sama. Dan aku menangis membaca kalimat ini. Menggambarkan aku dan Dia. :
"Hati kamu mungkin memilihku, seperti hatiku yg memilihmu. Tapi hati bisa bertumbuh dan bertahan dengan pilihan lain. Kadang, begitu saja sudah cukup. Aku pun merasa cukup."
Dan, kini. Hidupku dan Dia, telah berlayar bersama perahu yang lain. Namun semuanya, perasaan ini. Tidak akan berubah.
" Hati tidak pernah memilih. Hati dipilih. Jadi, kalau Keenan bilang, Keenan telah memilih saya, selamanya Keenan tidak akan pernah tulus mencintai saya. Karena hati tidak perlu memilih. Ia selalu tau kemana harus berlabuh," Luhde menggenggam tangan Keenan sejenak, "yang Keenan cari bukan di sini."
Ada lagi, masih dari buku yang sama. Dan aku menangis membaca kalimat ini. Menggambarkan aku dan Dia. :
"Hati kamu mungkin memilihku, seperti hatiku yg memilihmu. Tapi hati bisa bertumbuh dan bertahan dengan pilihan lain. Kadang, begitu saja sudah cukup. Aku pun merasa cukup."
Setelah semua patung selesai, Raja meminta dia untuk membuat patung dirinya sendiri. Namun, ia membuat patung dirinya dengan asal-asalan, pahatannya kasar sehingga kurang indah dipandang. Ia pikir, untuk apa ia membuat patung yang bagus, toh patung dirinya pasti nanti akan diletakkan di luar, akan terkena panas dan hujan. Raja pun kecewa , “Kenapa kau membuat patung dirimu seperti ini? Padahal tadinya, aku mau meletakkan engkau di sebelah patungku. Jika jelek seperti ini, lebih baik aku letakkan di luar saja.”
*Teman, terkadang kita memandang diri kita tidak sebaik kita memandang orang lain. Kita sering meremehkan diri kita sendiri. Padahal, alangkah baiknya jika kita memahat diri kita seindah mungkin, memahatnya dengan kerja keras dan keikhlasan, memolesnya dengan cinta kasih, dan mengisi setiap lekuknya dengan kesabaran dan kejujuran. Supaya kita nantinya menjadi patung yang indah, karena dengan begitu sang Raja tidak akan segan meletakkan kita berada disampingNYA.
Aku tak bisa tidur.
Memikirkan cinta dan kita.
Kamu. Aku. Cinta. Tuhan.
Jodoh ada di tangan Allah. Tapi, aku bertanya. Allah-nya siapa? Allah yang mana? Memang berapa Allah yang ada? Setiap orang menganggap Allah-nya mereka yang paling benar. Lalu, bukankah cinta juga Allah yang menciptakan?
Disisi lain, aku percaya yang menciptakan agama ya manusia juga. Tuhan nya hanya satu. Cara menyembah Nya yang berbeda.
Lalu, aku. Kamu. Bukankah Tuhan kita, adalah Tuhan yang sama? Jika berbeda, ijinkan Tuhanku dan Tuhanmu saling mengenal. Bercengkrama dan berbicara dengan kasih, seperti Kita.
Jika hanya ada Kamu dan aku, semuanya mungkin akan lebih mudah. Namun, Kamu. Aku. Dibesarkan oleh sebuah keluarga. Keluarga yang Tuhan pilihkan, tak mungkin kita khianati begitu saja bukan? Oleh sesuatu yang katanya disebut Cinta?
Aku. Kamu. Tuhan. Perbedaan. Semua itu indah jika kita memandang dari sudut yang berbeda. Namun rel hidup yang kau tapaki, memang berada jauh dari relku. Kita berjalan menuju terang yang berbeda. Walau pendar cahayanya kadang tampak sama.
Pak tua bilang, jangan khianati Tuhanmu demi perasaan cinta. Cinta Tuhanmu lebih besar dari itu. Semoga di esok hari. . . .
Tuhanmu--Tuhanku, bercengkrama dan berbicara dengan kasih. Seperti Kita. Kita dahulu kala.
Saatnya tidur. Menemuimu, berjalan menempuh rel yang sama, menuju terang yang mungkin sama. Di dalam mimpi.
Malam ini di inbox ku ada pesan dari Kamu,yang Kamu tujukan untuk aku dan Ia?
Memangnya apa kesamaanku dan Ia?
Mengapa?
Pesan ini justru membuatku bimbang dan resah setelah sekian kali ku berusaha tuk yakin dan tetap berdiri tegak?
Mengapa?
Pertengkaran kemarin menyadarkanku bahwa sesungguhnya, diantara kita lebih banyak kesamaan daripada perbedaan?
Mengapa?
Kita sama-sama keras kepala?
Kita sama-sama perfeksionis?
Kita sama-sama suka autis?
Kita sama-sama melankolis?
Itu yang aku rasa dan pertanyaan dalam benakku makin meraja mengingat apakah rasa ini masih sama atau sudah berbeda?
Kamu aneh,iya tidak?
Kamu tidak paham aku,iya tidak?
Tapi matamu menenangkanku,itu sungguhan.
Bukan kalimat gombal, jadikan ini sebagai pujian.
Pertengkaran kemarin lupakan saja.
Jadikan pelajaran supaya lebih bisa saling memahami.
Supaya setidaknya, akan kita temukan satu titik untuk bersinggungan dalam lingkaran yang penuh dengan kesamaan namun kerap memancing rasa yang berbeda.
Apa Kamu setuju? Jawablah Aku.
Terima kasih,love.
Telah kau berikan cinta, telah kau ajarkan apa itu bahagia, dan telah kau persembahkan kebersamaan yang nyata.
Apa yang ku inginkan hanya lah.
.
Hadirmu disini. Lagi. Bukan untuk membagi kasih dan bertukar nafas seperti dahulu. Bukan untuk kehangatan dan kemesraan semata.
Tapi untuk saling menemukan, kebahagiaan dalam binar mata. Untuk sekedar berbicara, atau menyeruput kopi berdua. Mendengarkanmu bercerita. Bercengkerama. Tertawa. Menangis berdua.
Dalam jemari tergenggam yang memberikan rasa aman.
Cukup sudah. Tak perlu dirimu khawatir, ku tak kan meminta lebih darimu.
Cepat atau lambat, esok atau mungkin lusa. Siapa tahu malaikat itu akan datang, mengajakku terbang. Keliling dunia. Berputar dan berpijak, di atas awan-awan yang kian menawan, karena malaikat itu. Malaikat itu membantuku merasakan kebahagiaan, seperti yang waktu dulu pernah kau ajarkan.
Forever in Love,
Chrestella
Sekarang, aku dan Kamu berteman dekat.
Sahabat. Apakah itu istilah yang tepat?
Mulanya, aku merasakan semua biasa saja. Tak pernah kusadari perasaan yang ada. Hingga teman-temanku menyadarkanku. Kata seorang sahabatku, rasa itu terlihat nyata.
Terwujud dalam setiap kata yang kuucap, terwujud dalam setiap teleponku, terwujud dalam setiap smsku, hingga perhatian-perhatian kecil yang kuanggap wajar.
Hingga suatu hari kau tanyakan padaku, benarkah aku merasakan sayang padamu?
Aku bingung kala itu. Hati kecilku, teman-temanku, lingkunganku, menjawab pertanyaan itu dengan jawaban IYA. Namun hatiku yang lain masih tidak percaya. Bukankah selama ini kita berteman biasa?
30 April 2009, ketika kamu sakit kepala ringan dan kekhawatiran yang aku rasakan berlebihan, aku menyadari kalau aku memang benar sayang.
Lalu, berbagai spekulasi berlomba dalam kepalaku, apakah kamu juga sayang aku? Atau kamu hanya menganggapku teman? Atau malah lain?
Seminggu berlalu setelah hari itu, dan kamu katanya mau mengajakku berbicara. Ada rasa takut. Rasa penasaran. Rasa bimbang. Namun tentu saja, keingintahuanku mengalahkan segalanya. Ketika kau bertanya padamu, kamu hanya diam. Ketika aku memaksa dirimu, amu juga diam. Hanya sebuah lagu yang kamu berikan. Tapi lagu itu terus menjadi kenangan. Rekamannya masih kusimpan. Lagu itu, suaramu. Kukira tanggal 7 Mei sore itu kita memutuskan untuk berteman. Menjadi sahabat setia. Namun sulit rasanya.
Aku sudah terbiasa memperhatikanmu, aku sudah terbiasa disampingmu, terbiasa menyayangimu. Mampukah aku?
Kamu tidak menepati janjimu untuk bertemu dan menyelesaikan tugas bersama pada tanggal 21 Mei 2009. Ketika kutanya kenapa, alasannya demi seorang teman. Temankah itu? Instingku mengatakan lain. Dan ternyata memang benar.
Bukan seorang teman biasa. Dia seseorang yang sangat berarti dihatimu. Yang katanya menghancurkan hatimu. Yang katanya membuatmu menangis. Bahkan kamu menangis di depanku. Jangan kira ku tak tau itu. Airmatamu lebih berharga dari apapun dan ketika kamu menangis, aku menangis lebih perih.
Katamu, “Jangan begitu, jika kamu menangis itu akan menjadi beban dihidupku.”
Oh iya? Benarkah? Bukankah aku bukan siapa-siapa untukmu? Lantas kenapa harus menjadi beban?
Rasa sayangku kepadamu sudah hamper habis. Sikapmu yang lebih banyak mengacuhkan daripada memperhatikanku membuat aku, dan lingkunganku geram. Namun, apa daya? Sayang ini sudah terlalu dalam.
Aku tidak pernah mengharapkan balasan apapun. Segala yang kuberikan untukmu itu tulus adanya. Namun jika kamu sudah membuat pilihan, aku pun juga harus begitu bukan?
Pilihanmu adalah tetap mencintainya, dan pilihanku adalah untuk tetap mencintaimu. Bagaimana?
Jangan minta aku melupakanmu, jangan minta aku untuk tidak menyayangimu. Boleh kamu tolak cintaku, tolak diriku dan semua tentangku, tapi tak satupun mampu menghentikan rasa sayangku. Dan kamu harus tahu itu….
Jika aku kini merangkak pergi tuk lupakanmu, sepertinya semua usahaku sia-sia. Biarkan cinta ini tumbuh, dan mati. Sesuka cinta itu sendiri. Seperti air mata, yang jika mampu menangis, akan menangis demi dirinya sendiri.
“Do, kamu gak bisa giniin aku. Dulu kamu udah memutuskan untuk meninggalkan aku, dan kini kamu balik lagi gitu aja. Aku gak akan pernah datang untuk laki-laki seperti kamu, Do.”
“Rana, maafkan aku.”
“Iya,Do. Yang penting kamu udah di sini. Kamu udah kembali, Do.” Wanita itu tersenyum. Merasa perkataannya adalah jawaban. Dari sejuta tanya yang dulu tersimpan.
“Selama ini aku terus mencintai kamu, dan ternyata aku gak sia-sia,Do. Kamu gak akan pergi lagi kan, Do. Iya kan?”
Lelaki itu terdiam. Rasa bersalah menghinggapi diri. Membuat air mata mengalir di ujung mata. Ia memandang wanita itu dalam-dalam. Lurus menelusuri jejak hati. Menangkupkan kedua telapak tangan di pipi.
“Na…”
“Jangan lagi,DO. Yang kemarin bilang gak mau datang itu hanya ego aku,Do. Setulus hati aku masih sangat menginginkanmu. Ardo…..jangan diam.”
Rana menggenggam sebelah jemari yang berada di pipi. Merasakan kehangatan yang dulu pernah dimiliki. Bertanya-tanya dalam hati, apakah rasa ini masih sama. Dan mencumbu jemari yang dulu selalu setia menjaga.
Sebuah kenyataan menjawab pertanyaan. Kenyataan bahwa kehangatan telah berubah menjadi dingin. Sebuah cincin melingkar di jarinya manisnya, dan lelaki itu masih terdiam. Wanita menunggu penjelasan. Namun, bibir lelaki itu terkatup rapat.
Tangisan itu kini tak lagi bisu. Diiringi isak dan suara bergetar.
“Kamu kembali hanya mau memamerkan cincin ini padaku?”
Dan lelaki itu masih terdiam. Dilepaskannya kedua telapak di pipi. Didorongnya tubuh lelaki itu menjauh. Lalu ia terjatuh. Terduduk, dalam hati yang terpuruk.
“Pergi,Do. Jangan kembali lagi. Sekalipun aku bersumpah untuk selalu mencintaimu, tapi kamu bukan untuk aku. Ijinkan aku menghadapi kenyataan. Dan melupakanmu.”
Lelaki itu mendekat, memapah wanita itu berdiri dan merapat. Tangis itu tak terbendung. Lelaki itu membawa wanita dalam rengkuhan. Lagi. Meresapi tangisannya. Menangis dalam waktu bersamaan.
Wanita itu melepaskan tubuhnya dari pelukan. Wajah lelaki itu mendekat. Hingga mereka tak lagi mterasa bernafas sendiri. Tetapi bersama. Bertukar udara. Bertukar air mata. Dan lalu ketika bibir keduanya merapat, waktu memahami dan membiarkan segalanya terhenti. Detik itu saja, kala itu saja. Hanya kecupan sesaat. Berakhir dengan perpisahan yang membuat hati tersayat.
“Maafkan aku. Kali ini saja, pahami aku. Seperti aku paham akan kamu.”
“Cintai aku…”
“Seperti cintamu akan aku….?”
“Pahami aku dengan cintamu…”
“Seperti cintamu yang memahamiku.”
I love you.
What I knew is.
You don’t love me.
What I knew is.
I care for you.
What I knew is.
You do care for me.
What I knew is.
I need you.
What I knew is.
You seem need me.
What I knew is.
You cross my mind all the time.
What I knew is.
I cross your mind several times.
What I knew is.
My dream is to be yours.
What I knew is.
Your dream, compare to mine is not the same.
What I knew is.
I want to have you in every sec of my day.
What I knew is.
You have your own life.
Mulanya, aku bercakap-cakap dengan seorang kawan baru lewat sms. Hingga ia tidak lagi membalas. Lupakah ia? Atau tertidur? Entah.
Jam 01.31 pagi, tiba-tiba Dia mengirimkanku sebuah pesan singkat berbunyi : 'Sertakan Tuhan dalam setiap perencanaan hidup mu, niscaya kasih & sayang Nya selalu ada bersama mu.'
Aku membalas pesan singkat itu. Aku tahu pasti alasan Dia tidak tidur tanpa perlu Dia katakan padaku. Namun ada yang lain, katanya Dia barusaja selesai berdoa dan lalu teringat diriku. Aneh,kenapa tidak Dia hubungi saja kekasih barunya itu? Jawaban yang kuterima adalah, kekasih baru sedang tidur. Menginap. Di rumahnya.
Lalu kulemparkan candaku tentang pernikahan yang mungkin tak lama lagi dijelang, lalu jawabannya sedikit menyentak diriku.
Begini katanya, "Aku belum mampu meyakinkan hatiku apakah dia yang terbaik. Aku hanya mencoba setia dan belajar mencintai."
Betapa kagetnya aku. Entah apa yang membuatnya tidak yakin. Tapi,satu hal ku sadar malam ini. Aku sudah rela. Aku sudah mampu. Melepaskannya untuk wanita lain.
Dia, tenanglah. Jika memang wanita ini yang Tuhan pilihkan untukmu, ku berdoa supaya Tuhan yakinkan hatimu dan biarlah kalian berdua bahagia. Pernikahan kalian, adalah tiket bagiku untuk pergi keluar dari hidupnya. Melihat Dia, bersama wanita yang mencintainya (entahlah, mampukah wanita ini mencintainya melebihi cintaku waktu dahulu) menenangkan, menentramkan hatiku. Ku berdoa untuk Dia. Selalu.
G(adis) : “Tidakkah kamu sadar? Setiap kata yang kamu ucapkan, merajutkan mimpi-mimpi yang semu?”
L(elaki) : “Lalu, memang kenapa kalau semu?”
G : “Aku tidak suka. Semu berarti palsu. Dan aku yakin kamu paham itu.”
L : “Katakan.”
G : “Apa?”
L : “Katakan maumu. Aku sudah katakana mauku. Menikah denganmu, namun itu jauh lebih semu dari segala ucapanku padamu.”
G : “Aku-mau-hidup-bersamamu. Memangnya harus menikah?”
L : “Kamu jangan bercanda, sayang. Ini negara apa? Kamu lihat kamu hidup di mana?”
G : “Hidup dalam duniaku. Duniamu. That’s all.”
L : “Kamu baik. Cerdas. Tapi aku jahat mengubahmu menjadi seperti sekarang ini. Lebih baik aku pergi. Kamu tahu masa depan kita, jauh lebih semu dari segala ucapanku padamu.”
G : “Jangan. Aku mencintaimu.”
L : “Aku juga. Tetapi cinta harus memilih, bukan?”
Dan lelaki itu memilih meninggalkan gadis sendirian. Meratap malam. Memuja langit. Yang gemintang. Namun tidak cemerlang. Bersyukur pada Tuhan. Bahwa, jika Adam dan Hawa memiliki pilihan. Begitu juga dengan gadis itu. Aku. Berdoa, supaya pilihan gadis itu, tidak membangun mimpi semu. Lagi. Tetapi keindahan nyata. Suatu hari nanti. Di tepian malam yang sepi. Namun, tidak ia tidak lagi sendiri.
Bagaimana dengan kamu? Kamu sedang apa sekarang? Menikmati malam atau menyesali hari siang?
Kau tahu? Kata seorang kawan, kebahagiaan dunia adalah fana? Tapi apa kau tahu? Bukankah bahagia itu, tak lain dan tak bukan hakikinya adalah kebahagiaan itu sendiri? Rasa di mana ada tawa, sneyum canda, dan haru yang bercampur menjadi satu? Terlalu banyak tanda tanya. Tapi hatimulah yang tahu jawabannya.
Lelah aku membayangkan malam, karena dalam bayangan malamku sering terselip wajahmu. Wajahmu, serupa malam yang indah. Tidak sebulat dan seterang purnama, namun cahaya di matamu mengingatkan aku akan bintang-bintang. Ya, matamu seperti sepasang bintang terang di langit malamku. Menenangkanku kalaku sendirian. Gombal ya kedengarannya? Tidak apa. Gombal milikku, gombal yang paling jujur.
Lelah aku membayangkan malam, ku memilih tuk keluar dan melihat malam yang sebenarnya. Yang tadi kubilang sunyi, gelap, kelam, dan terasa dingin itu. Aku ingat, tidak semua malamku kulewati seperti ini. Beberapa malam yang berbeda ketika ada dirimu yang datang menemaniku. Malam yang sama seperti malam ini, yang tadi kubilang sunyi, gelap, kelam dan terasa dingin terasa berbeda ketika dirimu datang di malam hari mengembalikan buku-buku yang aku titipkan padamu. Terasa berbeda pula ketika kau menunggu sahabatmu datang di tempatku, lalu kita menyempatkan diri makan bersama malam itu. Semua kenangan itu kini melekat abadi seperti bayangan malamku yang indah itu. Yang seringkali terselip dengan bayangan wajahmu yang tersenyum.
Tersenyum. Kapan ya terakhir kali kamu tersenyum? Aku lupa. Dirimu lebih banyak mengomel dan kadang tertawa. Tapi tawa beda dengan senyuman. Dalam setiap bayang-bayangmu, aku menemukan dirimu yang sedang tertawa, menangkap wajahmu yang sedang kelelahan, menyayangkan ekspresi wajahmu ketika kamu sakit kepala, dan menangisi wajahmu yang pura-pura tegar ketika kamu menangis di belakangku. Mengapa? Kamu kerap membagi dukamu sendiri.
Namun kini, semuanya sudah selesai. Cintaku. Hanya sayang yang membekas. Jadi, sahabatku jangan kamu menangis sendiri, karena kamu harus selalu ingat aku. Sahabatmu. Yang selalu ada untukmu.
Bahwa yang mencintamu segenap hati,, hanya aku?
Kamu masih mau menyangkal?
Bahwa yang mengenalmu luar dalam, hanya aku?
Kamu masih mau menyangkal?
Bahwa yang rela berbuat apapun tuk membahagiakanmu, hanya aku?
Kamu masih mau menyangkal?
Bahwa yang mencintaimu tanpa syarat, hanya aku?
Kamu masih mau menyangkal?
Bahwa tidak ada perempuan lain, yang mampu mencintaimu seperti cintaku padamu?
Kamu masih mau menyangkal?
Bahwa mereka, hanya melihat hartamu?
Kamu masih mau menyangkal?
Bahwa mereka, hanya melihat tampan wajahmu?
Kamu masih mau menyangkal?
Bahwa mereka, hanya melihat kemasanmu?
Kamu masih mau menyangkal?
Bahwa yang rela membangunkanmu jam 3 pagi, hanya aku?
Jangan kau sangkal lagi.
Bahwa kumelihat seluruh dirimu.
Bahwa ku mencintaimu seluruh yang ada padamu.
Lalu, tahukah mengapa kamu harus percaya itu?
KARENA AKU MENCINTAIMU, SEBELUM KITA BERTEMU.